Sabtu, 06 Agustus 2016

Perpisahan: Akhir dari Segalanya


Hari sudah larut ketika aku pulang kuliah. Ketika sedang berisitirahat sambil menikmati secangkir susu dan cemilan, temanku datang berkunjung. Sepertinya dia juga sudah pergi merantau meskipun perkuliahan belum dimulai. Terakhir kali dia mengunjungiku, ketika aku di rumah dan menceritakan kisah yang sangat tidak terduga. Kali ini di tempat berbeda, sepertinya dia kembali akan bercerita. Aku selalu punya bahan yang bagus untuk menulis ketika dia datang dan menceritakan kisahnya.
Ceritanya selalu saja berakhir sama dengan cerita-cerita sebelumnya. Meskipun kali ini sedikit berbeda tetapi memang lebih banyak rasa pahit yang dia rasakan. Setelah bercengkrama dan saling tegur sapa, kita mulai membicarakan kisahnya. Aku menjadi pendengar dan dia sebagai narasumbernya.
“Ceritaku kali ini memang sedikit dramatis. Pemeran dan ceritanya tidak jauh dari yang kemarin aku ceritakan tentang Pagi yang Memilukan. Kembali tentang mahasiswa KKN UGM yang ternyata minggu ini minggu terakhir mereka ada di desaku sebelum tanggal 6 Agustus mereka kembali ke kehidupannya masing-masing. Akhir Juli kemarin, aku berangkat dari desaku yang tercinta dengan tujuan Kota Bandung. Ada cerita menarik dan pengalaman baru yang aku alami sebelum keberangkatanku, Minggu 31 Juli.”
“Setelah acara Rabu tanggal 20 Juli yang diadakan oleh Pagma dan dihadiri mahasiswa KKN UGM, aku berharap di hari Rabu terakhirku di rumah tanggal 27 Juli, kembali dihadiri oleh mereka dan berharap dia datang dan aku bisa melihatnya lagi. Aku sudah mengajak teman-temanku yang pada acara pertama tidak hadir. Aku mau menunjukkan pada temanku itu, bahwa ada seseorang yang menarik perhatianku. Dan kuceritakanlah kejadian acara pertama itu. Namun, kita harus gigit jari, karena malam itu mereka tidak diundang. Acara kedua malam itu hanya segelintir orang saja, dan aku ingin segera pulang. Satu yang unik, ketika ada sorot lampu motor yang datang, kita semua berharap bahwa yang datang itu dari mereka tapi ternyata bukan dan kembali harus gigit jari. Acara malam kedua yang aku bayangkan bisa kembali melihatnya, harus sirna.”
“Cerita manis bermula di hari Jumat sore, 29 Juli aku pergi ke tempat potong rambut yang ada di daerah terminal bersama saudaraku yang juga akan dipotong. Sesampainya di sana, saudaraku yang terlebih dulu dipotong, aku menunggu di luar sambil melihat suasana sekeliling. Dan ada satu poster yang menarik perhatianku. Tong Hilap Tunggilis, sebuah tema yang membuatku penasaran. Ketika aku membacanya lebih lanjut, itu merupakan acara perpisahan mahasiswa KKN UGM. Acaranya beraneka ragam yang dimulai dari pagi hari sampai malam hari. Dari mulai jalan santai, grebeg buah raksasa, expo hasil KKN dan hiburan lainnya serta satu acara yang membuatku ingin mengikutinya, yaitu pelepasan ratusan lampion. Dan yang membuatku makin tertarik adalah jadwalnya yang diadakan di hari Sabtu, 30 Juli dari jam 06.00 WIB s.d 21.00 WIB. Aku pastikan akan datang.”
“Setelah selesei, aku mengabari temanku Feby. Mengajaknya untuk ikut acara tersebut. Aku suruh Feby mengajak teman-temannya. Aku juga mengajak temanku Dery. Malam itu agar lebih pasti, aku mengajak mereka semua datang dan berkumpul di rumah Feby. Mengobrol tentang mengikuti  acara itu sampai bercerita kemana-mana. Hingga malam memisahkan kita semua. Dan setelah disepakati, kita akan datang hanya pada saat acara pelesapasan lampion yang dijadwalkan pukul 21.00 WIB. Dan dari obrolan itu aku baru tahu, bahwa mahasiswa yang melakukan KKN itu ditempatkan bukan hanya di desaku. Tetapi ada juga di desa lainnya yang ada di Kecamatan Kalipucang. Hanya 5 desa yang di tempati atau menjadi tempat mereka mahasiswa UGM melakukan KKN, yaitu Desa Kalipucang, Desa Cibuluh, Desa Banjarharja, Desa Tunggilis, dan Desa Pamotan. Jadi aku harus menerima kenyataan bahwa dia tidak ada kecuali dia hanya datang untuk  melihat bukan menjadi panitianya. Tapi meski begitu tidak mengurungkan niatku untuk tetap datang ke acara itu, ada atau tiadanya dia.”
“Pagi harinya, aku bersepeda ke arah Tunggilis melihat apakah ada yang jalan santai. Tapi tidak ada ketika aku melewati tempat yang nanti akan dijadikan lokasi acara itu. Aku kembali dan tidak sabar menunggu datangnya nanti malam. Sejenak aku melupakan kenyataan bahwa besok Minggu, 31 Juli aku harus berangkat. Dan hari itu, hari terakhirku menikmati pagi, siang, sore, dan malam terakhirku di rumah. Tiba saatnya pukul 20.00 WIB, waktu yang dijanjikan untuk berkumpul. Setelah itu kita berangkat menuju lokasi.”
“Sesampainya disana, kita sempat kebingungan untuk parkir hingga akhirnya dapat. Kita masuk ke acara tersebut. Dan sepertinya masih acara hiburan masyarakat. Ketika bertanya tentang kapan acara lampion, mereka bilang pukul 22.30 WIB. Kita sempat kaget dan menyayangkan karena acaranya begitu malam. Dengan terpaksa akhirnya kita menunggu waktu datangnya pelepasan lampion yang ternyata pukul 23.10 WIB. Lelah menunggu dan dinginnya malam itu, terobati dengan menyaksikan ratusan lampion terbang menerangi malam di Tunggilis. Setelah sebelumnya, kita menikmati sebuah video perpisahan KKN UGM yang di tempatkan di Tunggillis. Melihat video itu, aku seperti masuk kedalamnya dan merasakan yang namanya perpisahan. Karena minggu depan aku sudah tidak ada di lagi di rumah.”
“Malam itu benar-benar sesuatu yang baru. Baru pertama kalinya aku melihat dan menjadi bagian langsung dari acara pelepasan lampion yang sangat banyak. Langit yang malam itu cerah dan masih terlihat bintang-bintang menambah cantik pemandangan malam itu. Mata kita semua tertuju ke atas, melihat cahaya lampion dari bawah digelapnya malam itu. Hingga akhirnya acara selesei dan kita semua pulang. Malam itu aku seperti ingin selamanya berada di rumah. Tapi mau tidak mau besok pagi aku harus berangkat setelah mempersiapkan segala sesuatu yang akan dibawa. Dan menerima kenyataan bahwa aku tidak akan melihatnya lagi.”
“Dihari keberangkatanku ada yang berbeda, aku melihat lapangan dan balai desaku ramai dipenuhi anak Sekolah Dasar. Ternyata ada sebuah perlombaan yang dilakukan oleh mereka, mahasiswa KKN UGM yang di tempatkan di desaku.  Setelah berpamitan dengan keluarga, aku berangkat dan melewati keramaian itu sambil melihat sekeliling dan melihat tempat mereka tinggal lalu pergi meninggalkan desaku yang tercinta. Aku sudah siap ketika kepulanganku nanti ke rumah, mereka sudah pergi. Meskipun dalam hati ada perasaan sesak jika memikirkannya.”
“Sesampainya di Bandung, aku beristirahat. Malam itu aku sedikit bernostalgia, membayangkan malam sebelumnya ketika aku masih berada di rumah. Hingga perasaan menyesakkan itu menghampiri hatiku. Seakan tidak rela ketika aku pulang nanti mereka sudah tidak ada dan aku tidak sempat melihatnya pergi bahkan melihatnya untuk yang terakhir kalinya. Aku mencari informasi mengenai kegiatan mereka sebelum mereka pergi. Tanggal 6 Agustus adalah jadwal kepergian mereka dari desaku. Aku berusaha ingin menyempatkan pulang meskipun harus absen. “
“Hingga akhirnya aku mendapatkan kabar di hari Selasa malam, bahwa besok hari Rabu akan diadakan kegiatan perkumpulan seperti biasanya tetapi dalam rangka perpisahan mereka. Seketika perasaanku campur aduk. Menempatkanku dalam posisi yang sulit bergerak bahkan untuk merontapun aku tidak bisa. Aku sudah membuat beberapa scenario agar aku bisa mengikuti kegiatan itu. Aku benar-benar merasa tidak diperlakukan sebagaimana mestinya. Kenapa di perkumpulan yang terakhir aku di rumah mereka tidak datang ? Sedangkan ketika aku sudah berada jauh dari kampung halamanku mereka malah datang ?! Aku terus memikirkan caranya bagaimana untuk bisa melihatnya lagi sebelum mereka pergi.”
“Aku bisa saja memastikan untuk datang pada acara malam itu, tapi keadaanlah yang tidak memungkinkan. Setelah mengkonfirmasi acara malam itu, aku sedikit mengalah dan menyerah untuk bisa melihatnya. Beruntungnya, acaranya tidak sesuai dengan keinginanku jadi aku tidak punya alasan yang kuat untuk pulang. Acara yang diadakan memang perpisahan dan makan-makan. Aku kira awalnya mereka akan mengadakan acara itu dari sore hari, dengan memasaknya terlebih dahulu kemudian terakhir memakannya. Tetapi yang terjadi hanyalah makan-makan saja. Jadi mereka hanya datang seperti perkumpulan yang pertama, kemudian makan lalu pulang. Mendengar hal itu aku urungkan niatku untuk pulang. Meskipun dalam hati masih memikirkan ketika aku pulang nanti mereka sudah pergi. Itu yang membuatku susah tidur.”
“Aku menjalani hariku di sini (Bandung) biasa saja. Di hari Rabu malam, aku melarikan diri dari pemikiranku tentang mereka. Aku ajak temanku untuk pergi menonton. Ketika melihat jam, waktu menunjukkan pukul 20.35 WIB, seketika aku membayangkan bagaimana rasanya ketika pada saat bersamaan aku berada di sana (Kalipucang) mengikuti acaranya dan bertemu lagi dengan dia. Lalu aku kembali focus. Dan di hari berikutnya disore hari, aku mendapat kabar bahwa hari Sabtu aku diliburkan. Sehingga kemungkinan untuk pulang menjadi 90%. Aku berniat di hari Jumat aku pulang, sehingga bisa menikmati 2 malam dan satu hari penuh berada di rumah. Dan kembali pergi di hari Minggunya. Karena jika hari Sabtu tidak libur, kemungkinan pulang hanya 10%.”
“Hari Jumat pun tiba, aku berniat pulang pukul 13.00 WIB sehingga sore harinya aku sudah bisa berada di rumah karena perjalananku hanya memakan waktu sekitar kurang dari 5 jam. Sebelum aku memastikannya, aku menelpon sodaraku menanyakan tentang mereka. Sempat kaget ketika dia bilang bahwa mereka sudah pergi meskipun yang pergi adalah mereka yang berada di Desa Pamotan. Akupun tersontak dan keinginan untuk pulang menjadi 99%. Karena tidak ingin hal yang aku takutkan terjadi. Aku mengajak temanku yang ada di sini untuk pulang. Dan setelah itu aku pulang meskipun jadwalku seharusnya sampai sore aku tetap pulang. Dan pergi dari sini pukul 14.00 WIB.”
“Aku sampai di desaku pukul 19.04 WIB, ketika melewati tempat tinggal mereka, aku masih bisa melihat masih ada motor yang terparkir di depannya. Jadi mereka masih ada disini. Dan aku bisa pastikan akan melihatnya ketika mereka pergi. Jadi nanti di hari Minggu waktu aku berangkat lagi, aku akan terbiasa dengan ketidak-hadiran mereka di desaku. Aku akan melihat tempat tinggal mereka di sini kosong dan nanti ketika aku pulang kembali ke desaku aku akan melihat tempat tinggal mereka kosong.”
“Jadi apa yang sebenarnya kamu takutkan ?” tanyaku mendengar ceritanya.
“Aku mempunyai masalah dengan perasaan yang menyangkut kepergian. Dulu waktu aku kelas 1 SMP aku mengalami hal semacam ini dan membuatku tak henti-hentinya menangis dan sulit untuk kembali ceria. Jadi ceritanya waktu itu aku diasramakan, aku hanya bisa pulang ketika hari Sabtu dan berangkat lagi hari Senin yang langsung ke sekolah dan pulangnya aku kembali ke asrama. Seperti itu setiap harinya. Hingga tiba dimana kejadian itu terjadi. Ketika hari Sabtu, aku lupa kapan terjadinya, aku sudah tidak sabar untuk pulang karena ayahku menelpon dan memberitahuku bahwa ia akan pergi bekerja. Pekerjaan ayahku membuatnya hanya tinggal sementara di rumah sebelum ia kembali bekerja dan membutuhkan berminggu-minggu sampai ia kembali pulang. Aku ingin pulang pada saat itu juga, namun sekolah belum selesai. Aku bilang ke ayahku untuk tidak pergi dulu, tunggu sampai saat aku pulang dan aku bisa berpamitan.”
“Setelah pulang sekolah, dengan cepat aku ke asrama dan segera pulang. Waktu di perjalanan memang tidak lama hanya menghabiskan waktu sekitar 30 menit. Tetapi seakan membutuhkan waktu berjam-jam untuk sampai di rumah. Dan ternyata yang aku takutkan terjadi. Sesampainya di rumah, aku mendapati rumahku kosong. Ayahku baru saja pergi. Aku tahu karena aku masih bisa mencium wanginya. Wangi sampo yang ia gunakan, wangi parfum yang ia kenakan dan beberapa barang yang sepertinya baru saja ia pakai. Seketika air mataku keluar dan menangisi kepergian ayahku.”
“Aku menangis kenapa ayahku tidak menungguku sejenak, padahal aku sudah dengan secepatnya mengusahakan untuk pulang. Aku terdiam dirumah, wangi yang ia gunakan membuatku semakin menjadi-jadi. Barang yang telah ia pakai membuatku tak henti-hentinya menangis. Aku iri dengan rumahku dan segala isinya yang bisa melihatnya pergi. Setelah sekian lama aku menangis, air mataku akhirnya habis. Aku tertidur dengan masih memeluk wangi pakaiannnya. Butuh waktu lama untuk bisa mengobatinya. Obat yang aku butuhkan adalah keluarga, teman, dan tempat untuk bercerita. Ketika ayahku pulang aku merasa baikan dan tak ingin kejadian itu terjadi lagi.”
“Hingga tiba akhirnya, kejadian yang mirip seperti itu akan terjadi. Meskipun dia bukan siapa-siapa, meskipun dia baru saja aku kenal, dan meskipun dia tidak meresponku dengan baik. Aku tetap menakutkan hal itu terjadi. Hal yang membuatku terpukul dari dalam. Karena ketika aku berangkat, dia masih ada disini dan ketika aku pulang dia sudah tidak ada dan aku tidak sempat melihatnya pergi. Maka dari itu, aku putuskan untuk pulang meskipun memang aku tidak bisa melihatnya lagi, tapi aku bisa melepaskan kepergiannya. Dan ketika aku berangkat lagi dia sudah tidak ada dan ketika aku pulang kembali dia memang sudah tidak ada. Jadi aku bisa tenang ketika di sana tanpa berpikiran lagi tentang dia.”
“Dia menjadi istimewa adalah selain karena aku menyukainya, dia juga sudah menghabiskan separuh waktunya tinggal di desaku. Desa yang jauh dari peradaban kota, desa yang masih asri meskipun ada beberapa yang sudah tidak asri lagi, desa yang masih dengan jelas bisa melihat bintang-bintang ketika malam hari, desa tempat kelarihanku, dan desa dimana aku tumbuh. Dia memberikan waktunya yang tidak akan kembali lagi untuk tinggal di desaku. Walaupun memang hanya sebuah tugas dari kampusnya, tapi aku bersyukur karena dia di tempatkan di desaku.”
“Dan sudah waktunya dia kembali ke kehidupannya yang lama. Pergi dari desa yang telah dia tinggali untuk sementara waktu. Pergi yang sepertinya untuk selamanya. Mengingat jauhnya jarak antara tempat dia tinggal dan desaku. Sepertinya itu pun pertama dan terakhirnya dia di desaku. Tapi ada kemungkinan kecil jika dia dengan sengaja bersama keluarganya pergi liburan ke Pangandaran, bukan tidak mungkin bahwa dia akan kembali ke desaku walaupun sebatas melewatinya saja. Dan aku tidak menyesal telah mengenalnya dan menyempatkan untuk melihatnya pulang. Bagiku memang seperti mimpi, aku seperti masuk ke dalam ceritanya. Seperti mengalami KKN tersendiri dan sudah waktunya untuk bangun. Menatap pagi hari dengan semangat. Itu terjadi untuk orang lain, bagiku mimpi adalah sesuatu yang sangat berharga yang aku alami meskipun hanya di dalam mimpi. Dan setiap kali aku terbangun, aku akan mengingatnya dan tidak melupakannya sebisa mungkin. Apalagi mimpiku terhadap orang-orang yang aku sayangi.”
“Akupun sudah harus pergi dan mengenangnya menjadi  sebuah cerita menarik di hidupku. Sama-sama kembali ke kehidupan semula, seperti halnya tidak pernah terjadi. Meskipun aku mempunyai bukti bahwa aku pernah mengalaminya.”
“Ceritamu kali ini benar-benar menyentuh. Kau selalu ada bahan cerita yang berbeda-beda setiap kali kau datang. Mungkin terasa pahit bagimu kopi ini, tapi percayalah sepahit-pahitnya, kau selalu dinikmati dan tidak akan pernah disesali.” Ujarku mendengar ceritanya dan mengakhiri pembicaraan kita malam itu.


2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. hallo saya iqbal daru universitas padjadjaran, bulan 1 kita bakalan ada kknm di desa cibuluh kecamatan kalipucang, boleh minta kontaknya ga soalnya mau menanyakan soal desa cibuluh

    BalasHapus

A Name of a Story 2

Neisyara Hanandya Setyana, itulah nama yang akhirnya gw dan istri gw berikan. Lahir di RS Hermina Bekasi Februari 2025. Anak pertama dari in...