Hari
sudah larut ketika aku pulang kuliah. Ketika sedang berisitirahat sambil
menikmati secangkir susu dan cemilan, temanku datang berkunjung. Sepertinya dia
juga sudah pergi merantau meskipun perkuliahan belum dimulai. Terakhir kali dia
mengunjungiku, ketika aku di rumah dan menceritakan kisah yang sangat tidak
terduga. Kali ini di tempat berbeda, sepertinya dia kembali akan bercerita. Aku
selalu punya bahan yang bagus untuk menulis ketika dia datang dan menceritakan
kisahnya.
Ceritanya
selalu saja berakhir sama dengan cerita-cerita sebelumnya. Meskipun kali ini
sedikit berbeda tetapi memang lebih banyak rasa pahit yang dia rasakan. Setelah
bercengkrama dan saling tegur sapa, kita mulai membicarakan kisahnya. Aku
menjadi pendengar dan dia sebagai narasumbernya.
“Ceritaku
kali ini memang sedikit dramatis. Pemeran dan ceritanya tidak jauh dari yang
kemarin aku ceritakan tentang Pagi yang
Memilukan. Kembali tentang mahasiswa KKN UGM yang ternyata minggu ini
minggu terakhir mereka ada di desaku sebelum tanggal 6 Agustus mereka kembali
ke kehidupannya masing-masing. Akhir Juli kemarin, aku berangkat dari desaku
yang tercinta dengan tujuan Kota Bandung. Ada cerita menarik dan pengalaman
baru yang aku alami sebelum keberangkatanku, Minggu 31 Juli.”
“Setelah
acara Rabu tanggal 20 Juli yang diadakan oleh Pagma dan dihadiri mahasiswa KKN
UGM, aku berharap di hari Rabu terakhirku di rumah tanggal 27 Juli, kembali
dihadiri oleh mereka dan berharap dia datang dan aku bisa melihatnya lagi. Aku
sudah mengajak teman-temanku yang pada acara pertama tidak hadir. Aku mau
menunjukkan pada temanku itu, bahwa ada seseorang yang menarik perhatianku. Dan
kuceritakanlah kejadian acara pertama itu. Namun, kita harus gigit jari, karena
malam itu mereka tidak diundang. Acara kedua malam itu hanya segelintir orang
saja, dan aku ingin segera pulang. Satu yang unik, ketika ada sorot lampu motor
yang datang, kita semua berharap bahwa yang datang itu dari mereka tapi
ternyata bukan dan kembali harus gigit jari. Acara malam kedua yang aku bayangkan
bisa kembali melihatnya, harus sirna.”
“Cerita
manis bermula di hari Jumat sore, 29 Juli aku pergi ke tempat potong rambut
yang ada di daerah terminal bersama saudaraku yang juga akan dipotong.
Sesampainya di sana, saudaraku yang terlebih dulu dipotong, aku menunggu di
luar sambil melihat suasana sekeliling. Dan ada satu poster yang menarik
perhatianku. Tong Hilap Tunggilis, sebuah
tema yang membuatku penasaran. Ketika aku membacanya lebih lanjut, itu
merupakan acara perpisahan mahasiswa KKN UGM. Acaranya beraneka ragam yang
dimulai dari pagi hari sampai malam hari. Dari mulai jalan santai, grebeg buah
raksasa, expo hasil KKN dan hiburan lainnya serta satu acara yang membuatku
ingin mengikutinya, yaitu pelepasan ratusan lampion. Dan yang membuatku makin
tertarik adalah jadwalnya yang diadakan di hari Sabtu, 30 Juli dari jam 06.00
WIB s.d 21.00 WIB. Aku pastikan akan datang.”
“Setelah
selesei, aku mengabari temanku Feby. Mengajaknya untuk ikut acara tersebut. Aku
suruh Feby mengajak teman-temannya. Aku juga mengajak temanku Dery. Malam itu
agar lebih pasti, aku mengajak mereka semua datang dan berkumpul di rumah Feby.
Mengobrol tentang mengikuti acara itu
sampai bercerita kemana-mana. Hingga malam memisahkan kita semua. Dan setelah
disepakati, kita akan datang hanya pada saat acara pelesapasan lampion yang
dijadwalkan pukul 21.00 WIB. Dan dari obrolan itu aku baru tahu, bahwa
mahasiswa yang melakukan KKN itu ditempatkan bukan hanya di desaku. Tetapi ada
juga di desa lainnya yang ada di Kecamatan Kalipucang. Hanya 5 desa yang di
tempati atau menjadi tempat mereka mahasiswa UGM melakukan KKN, yaitu Desa
Kalipucang, Desa Cibuluh, Desa Banjarharja, Desa Tunggilis, dan Desa Pamotan.
Jadi aku harus menerima kenyataan bahwa dia tidak ada kecuali dia hanya datang
untuk melihat bukan menjadi panitianya.
Tapi meski begitu tidak mengurungkan niatku untuk tetap datang ke acara itu,
ada atau tiadanya dia.”
“Pagi
harinya, aku bersepeda ke arah Tunggilis melihat apakah ada yang jalan santai.
Tapi tidak ada ketika aku melewati tempat yang nanti akan dijadikan lokasi
acara itu. Aku kembali dan tidak sabar menunggu datangnya nanti malam. Sejenak
aku melupakan kenyataan bahwa besok Minggu, 31 Juli aku harus berangkat. Dan
hari itu, hari terakhirku menikmati pagi, siang, sore, dan malam terakhirku di
rumah. Tiba saatnya pukul 20.00 WIB, waktu yang dijanjikan untuk berkumpul.
Setelah itu kita berangkat menuju lokasi.”
“Sesampainya
disana, kita sempat kebingungan untuk parkir hingga akhirnya dapat. Kita masuk
ke acara tersebut. Dan sepertinya masih acara hiburan masyarakat. Ketika
bertanya tentang kapan acara lampion, mereka bilang pukul 22.30 WIB. Kita
sempat kaget dan menyayangkan karena acaranya begitu malam. Dengan terpaksa
akhirnya kita menunggu waktu datangnya pelepasan lampion yang ternyata pukul
23.10 WIB. Lelah menunggu dan dinginnya malam itu, terobati dengan menyaksikan
ratusan lampion terbang menerangi malam di Tunggilis. Setelah sebelumnya, kita
menikmati sebuah video perpisahan KKN UGM yang di tempatkan di Tunggillis.
Melihat video itu, aku seperti masuk kedalamnya dan merasakan yang namanya
perpisahan. Karena minggu depan aku sudah tidak ada di lagi di rumah.”
“Malam
itu benar-benar sesuatu yang baru. Baru pertama kalinya aku melihat dan menjadi
bagian langsung dari acara pelepasan lampion yang sangat banyak. Langit yang
malam itu cerah dan masih terlihat bintang-bintang menambah cantik pemandangan
malam itu. Mata kita semua tertuju ke atas, melihat cahaya lampion dari bawah
digelapnya malam itu. Hingga akhirnya acara selesei dan kita semua pulang.
Malam itu aku seperti ingin selamanya berada di rumah. Tapi mau tidak mau besok
pagi aku harus berangkat setelah mempersiapkan segala sesuatu yang akan dibawa.
Dan menerima kenyataan bahwa aku tidak akan melihatnya lagi.”
“Dihari
keberangkatanku ada yang berbeda, aku melihat lapangan dan balai desaku ramai
dipenuhi anak Sekolah Dasar. Ternyata ada sebuah perlombaan yang dilakukan oleh
mereka, mahasiswa KKN UGM yang di tempatkan di desaku. Setelah berpamitan dengan keluarga, aku
berangkat dan melewati keramaian itu sambil melihat sekeliling dan melihat
tempat mereka tinggal lalu pergi meninggalkan desaku yang tercinta. Aku sudah
siap ketika kepulanganku nanti ke rumah, mereka sudah pergi. Meskipun dalam
hati ada perasaan sesak jika memikirkannya.”
“Sesampainya
di Bandung, aku beristirahat. Malam itu aku sedikit bernostalgia, membayangkan
malam sebelumnya ketika aku masih berada di rumah. Hingga perasaan menyesakkan
itu menghampiri hatiku. Seakan tidak rela ketika aku pulang nanti mereka sudah
tidak ada dan aku tidak sempat melihatnya pergi bahkan melihatnya untuk yang
terakhir kalinya. Aku mencari informasi mengenai kegiatan mereka sebelum mereka
pergi. Tanggal 6 Agustus adalah jadwal kepergian mereka dari desaku. Aku
berusaha ingin menyempatkan pulang meskipun harus absen. “
“Hingga
akhirnya aku mendapatkan kabar di hari Selasa malam, bahwa besok hari Rabu akan
diadakan kegiatan perkumpulan seperti biasanya tetapi dalam rangka perpisahan
mereka. Seketika perasaanku campur aduk. Menempatkanku dalam posisi yang sulit
bergerak bahkan untuk merontapun aku tidak bisa. Aku sudah membuat beberapa
scenario agar aku bisa mengikuti kegiatan itu. Aku benar-benar merasa tidak diperlakukan
sebagaimana mestinya. Kenapa di perkumpulan yang terakhir aku di rumah mereka
tidak datang ? Sedangkan ketika aku sudah berada jauh dari kampung halamanku
mereka malah datang ?! Aku terus memikirkan caranya bagaimana untuk bisa
melihatnya lagi sebelum mereka pergi.”
“Aku
bisa saja memastikan untuk datang pada acara malam itu, tapi keadaanlah yang
tidak memungkinkan. Setelah mengkonfirmasi acara malam itu, aku sedikit
mengalah dan menyerah untuk bisa melihatnya. Beruntungnya, acaranya tidak sesuai
dengan keinginanku jadi aku tidak punya alasan yang kuat untuk pulang. Acara
yang diadakan memang perpisahan dan makan-makan. Aku kira awalnya mereka akan
mengadakan acara itu dari sore hari, dengan memasaknya terlebih dahulu kemudian
terakhir memakannya. Tetapi yang terjadi hanyalah makan-makan saja. Jadi mereka
hanya datang seperti perkumpulan yang pertama, kemudian makan lalu pulang.
Mendengar hal itu aku urungkan niatku untuk pulang. Meskipun dalam hati masih
memikirkan ketika aku pulang nanti mereka sudah pergi. Itu yang membuatku susah
tidur.”
“Aku
menjalani hariku di sini (Bandung) biasa saja. Di hari Rabu malam, aku
melarikan diri dari pemikiranku tentang mereka. Aku ajak temanku untuk pergi
menonton. Ketika melihat jam, waktu menunjukkan pukul 20.35 WIB, seketika aku
membayangkan bagaimana rasanya ketika pada saat bersamaan aku berada di sana
(Kalipucang) mengikuti acaranya dan bertemu lagi dengan dia. Lalu aku kembali
focus. Dan di hari berikutnya disore hari, aku mendapat kabar bahwa hari Sabtu aku
diliburkan. Sehingga kemungkinan untuk pulang menjadi 90%. Aku berniat di hari
Jumat aku pulang, sehingga bisa menikmati 2 malam dan satu hari penuh berada di
rumah. Dan kembali pergi di hari Minggunya. Karena jika hari Sabtu tidak libur,
kemungkinan pulang hanya 10%.”
“Hari
Jumat pun tiba, aku berniat pulang pukul 13.00 WIB sehingga sore harinya aku
sudah bisa berada di rumah karena perjalananku hanya memakan waktu sekitar
kurang dari 5 jam. Sebelum aku memastikannya, aku menelpon sodaraku menanyakan
tentang mereka. Sempat kaget ketika dia bilang bahwa mereka sudah pergi
meskipun yang pergi adalah mereka yang berada di Desa Pamotan. Akupun tersontak
dan keinginan untuk pulang menjadi 99%. Karena tidak ingin hal yang aku
takutkan terjadi. Aku mengajak temanku yang ada di sini untuk pulang. Dan
setelah itu aku pulang meskipun jadwalku seharusnya sampai sore aku tetap
pulang. Dan pergi dari sini pukul 14.00 WIB.”
“Aku
sampai di desaku pukul 19.04 WIB, ketika melewati tempat tinggal mereka, aku
masih bisa melihat masih ada motor yang terparkir di depannya. Jadi mereka
masih ada disini. Dan aku bisa pastikan akan melihatnya ketika mereka pergi.
Jadi nanti di hari Minggu waktu aku berangkat lagi, aku akan terbiasa dengan
ketidak-hadiran mereka di desaku. Aku akan melihat tempat tinggal mereka di
sini kosong dan nanti ketika aku pulang kembali ke desaku aku akan melihat
tempat tinggal mereka kosong.”
“Jadi
apa yang sebenarnya kamu takutkan ?” tanyaku mendengar ceritanya.
“Aku
mempunyai masalah dengan perasaan yang menyangkut kepergian. Dulu waktu aku
kelas 1 SMP aku mengalami hal semacam ini dan membuatku tak henti-hentinya
menangis dan sulit untuk kembali ceria. Jadi ceritanya waktu itu aku diasramakan,
aku hanya bisa pulang ketika hari Sabtu dan berangkat lagi hari Senin yang
langsung ke sekolah dan pulangnya aku kembali ke asrama. Seperti itu setiap
harinya. Hingga tiba dimana kejadian itu terjadi. Ketika hari Sabtu, aku lupa
kapan terjadinya, aku sudah tidak sabar untuk pulang karena ayahku menelpon dan
memberitahuku bahwa ia akan pergi bekerja. Pekerjaan ayahku membuatnya hanya
tinggal sementara di rumah sebelum ia kembali bekerja dan membutuhkan
berminggu-minggu sampai ia kembali pulang. Aku ingin pulang pada saat itu juga,
namun sekolah belum selesai. Aku bilang ke ayahku untuk tidak pergi dulu,
tunggu sampai saat aku pulang dan aku bisa berpamitan.”
“Setelah
pulang sekolah, dengan cepat aku ke asrama dan segera pulang. Waktu di
perjalanan memang tidak lama hanya menghabiskan waktu sekitar 30 menit. Tetapi
seakan membutuhkan waktu berjam-jam untuk sampai di rumah. Dan ternyata yang
aku takutkan terjadi. Sesampainya di rumah, aku mendapati rumahku kosong.
Ayahku baru saja pergi. Aku tahu karena aku masih bisa mencium wanginya. Wangi
sampo yang ia gunakan, wangi parfum yang ia kenakan dan beberapa barang yang
sepertinya baru saja ia pakai. Seketika air mataku keluar dan menangisi
kepergian ayahku.”
“Aku
menangis kenapa ayahku tidak menungguku sejenak, padahal aku sudah dengan
secepatnya mengusahakan untuk pulang. Aku terdiam dirumah, wangi yang ia
gunakan membuatku semakin menjadi-jadi. Barang yang telah ia pakai membuatku
tak henti-hentinya menangis. Aku iri dengan rumahku dan segala isinya yang bisa
melihatnya pergi. Setelah sekian lama aku menangis, air mataku akhirnya habis.
Aku tertidur dengan masih memeluk wangi pakaiannnya. Butuh waktu lama untuk
bisa mengobatinya. Obat yang aku butuhkan adalah keluarga, teman, dan tempat
untuk bercerita. Ketika ayahku pulang aku merasa baikan dan tak ingin kejadian
itu terjadi lagi.”
“Hingga
tiba akhirnya, kejadian yang mirip seperti itu akan terjadi. Meskipun dia bukan
siapa-siapa, meskipun dia baru saja aku kenal, dan meskipun dia tidak
meresponku dengan baik. Aku tetap menakutkan hal itu terjadi. Hal yang
membuatku terpukul dari dalam. Karena ketika aku berangkat, dia masih ada
disini dan ketika aku pulang dia sudah tidak ada dan aku tidak sempat
melihatnya pergi. Maka dari itu, aku putuskan untuk pulang meskipun memang aku
tidak bisa melihatnya lagi, tapi aku bisa melepaskan kepergiannya. Dan ketika
aku berangkat lagi dia sudah tidak ada dan ketika aku pulang kembali dia memang
sudah tidak ada. Jadi aku bisa tenang ketika di sana tanpa berpikiran lagi
tentang dia.”
“Dia
menjadi istimewa adalah selain karena aku menyukainya, dia juga sudah
menghabiskan separuh waktunya tinggal di desaku. Desa yang jauh dari peradaban
kota, desa yang masih asri meskipun ada beberapa yang sudah tidak asri lagi,
desa yang masih dengan jelas bisa melihat bintang-bintang ketika malam hari,
desa tempat kelarihanku, dan desa dimana aku tumbuh. Dia memberikan waktunya
yang tidak akan kembali lagi untuk tinggal di desaku. Walaupun memang hanya
sebuah tugas dari kampusnya, tapi aku bersyukur karena dia di tempatkan di
desaku.”
“Dan
sudah waktunya dia kembali ke kehidupannya yang lama. Pergi dari desa yang
telah dia tinggali untuk sementara waktu. Pergi yang sepertinya untuk
selamanya. Mengingat jauhnya jarak antara tempat dia tinggal dan desaku.
Sepertinya itu pun pertama dan terakhirnya dia di desaku. Tapi ada kemungkinan kecil
jika dia dengan sengaja bersama keluarganya pergi liburan ke Pangandaran, bukan
tidak mungkin bahwa dia akan kembali ke desaku walaupun sebatas melewatinya
saja. Dan aku tidak menyesal telah mengenalnya dan menyempatkan untuk
melihatnya pulang. Bagiku memang seperti mimpi, aku seperti masuk ke dalam
ceritanya. Seperti mengalami KKN tersendiri dan sudah waktunya untuk bangun.
Menatap pagi hari dengan semangat. Itu terjadi untuk orang lain, bagiku mimpi
adalah sesuatu yang sangat berharga yang aku alami meskipun hanya di dalam
mimpi. Dan setiap kali aku terbangun, aku akan mengingatnya dan tidak
melupakannya sebisa mungkin. Apalagi mimpiku terhadap orang-orang yang aku
sayangi.”
“Akupun
sudah harus pergi dan mengenangnya menjadi
sebuah cerita menarik di hidupku. Sama-sama kembali ke kehidupan semula,
seperti halnya tidak pernah terjadi. Meskipun aku mempunyai bukti bahwa aku
pernah mengalaminya.”
“Ceritamu
kali ini benar-benar menyentuh. Kau selalu ada bahan cerita yang berbeda-beda
setiap kali kau datang. Mungkin terasa pahit bagimu kopi ini, tapi percayalah
sepahit-pahitnya, kau selalu dinikmati dan tidak akan pernah disesali.” Ujarku
mendengar ceritanya dan mengakhiri pembicaraan kita malam itu.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapushallo saya iqbal daru universitas padjadjaran, bulan 1 kita bakalan ada kknm di desa cibuluh kecamatan kalipucang, boleh minta kontaknya ga soalnya mau menanyakan soal desa cibuluh
BalasHapus