Aku sedang duduk menikmati malam yang dingin di
depan rumah ketika sahabatku datang berkunjung. Sudah lama semenjak dia
terakhir kali mengunjungiku. Dia sepertinya sedang senang. Terlihat dari
caranya berjalan yang penuh semangat. Sembari sesekali bersiul di tengah
kesunyian malam. Ketika hampir sampai dia melihat ke arahku sambil melambaikan
tangannya.
“Sedang apa kau di luar ? Apakah aku mengganggumu ?”,
tanyanya ketika menghampiriku sambil berjabat tangan.
“Tidak, seperti yang kau lihat. Bagaimana kabarmu ?”,
jawabku sambil mempersilahkan dia duduk.
“Kabar baik. Kau sendiri bagaimana ?”
“Baik sekali. Apa yang membawamu datang jauh-jauh
kemari?”
“Ada sesuatu yang ingin aku ceritakan, tapi sedang
apa kau diluar, apakah kau ada masalah?”
“Tidak, tidak ada. Hanya ingin menghirup udara
malam. Sepertinya suasana hatimu sedang bagus. Pasti ada berita baik yang akan
kau sampaikan. Benar?”
“Bagaimana kau tahu, aku bahkan belum sempat
mengatakannya. Tapi seperti biasa aku punya berita baik sekaligus berita buruk.
Maukah kau mendengarkan?”
“Baiklah, aku akan menjadi pendengar yang baik.
Sebelum kau bercerita, aku akan membawakan minuman. Tunggulah sebentar, sepertinya
ceritamu panjang.”
“Benar sekali, kau memang sahabat yang paling
pengertian.”
Aku masuk ke dalam untuk mengambil minuman. Aku
bertanya-tanya seperti apa cerita yang akan dia sampaikan. Dia bilang ada dua
berita sekaligus, baik dan buruk. Tapi kenapa dia masih bersikap senang sekali.
Pikiranku seketika terhenti ketika sudah sampai didepan dan menuangkan minuman
untuk kita berdua. “Minumlah dulu sebelum kau bercerita.” ucapku.
“Baiklah,” jawabnya sambil meminum segelas air yang
sudah kusediakan, kemudian melanjutkan pembicaraannya, ”ini bermulai ketika
hari Rabu 20 Juli aku mendapat surat undangan dari organisasi Paguyuban
Generasi Muda An-Nur (Pagma), isinya adalah undangan kegiatan silaturahmi dan
diskusi dengan pemuda disekitarku dan dihadiri tamu undangan yang berasal dari
mahasiswa Universitas Gadjah Mada yang sedang melakukan Kuliah Kerja Nyata
(KKN) di desaku. Aku merasa tertarik karena akan dihadiri oleh mahasiswa UGM,
aku luangkan waktuku untuk menghadiri acara itu. Acaranya dimulai pukul 20.00
WIB.”.
“Aku datang lebih awal dari yang lain agar aku tahu
siapa saja yang datang. Ada beberapa temanku yang datang dan mendapat surat
undangan yang sama. Kita menunggu diluar ruangan, menunggu yang lainnya datang.
Mahasiswa dan mahasiswi UGM datang bersamaan, dan mereka langsung memasuki
ruangan. Ada 2 mahasiswa dan 6 mahasiswi yang datang mewakili. Setelah semuanya
berkumpul, aku dan teman-temanku memasuki ruangan. Aku duduk di pojok belakang
agar bisa melihat setiap orang dari UGM itu dan berharap ada yang menarik
perhatianku. Dan ternyata ada. Dia seorang perempuan yang manis, bertubuh kecil
sedang, dan terlihat lebih tua dariku. Karena ketertarikanku, jadi aku sesekali
memperhatikan setiap geraknya.”
“Saat Ust. Akbar selaku pembina Pagma membuka acara
dan memperkenalkan setiap pemuda dari desaku, dia juga memperkenalkanku sebagai
seseorang yang dulunya juga merupakan ketua dari Pagma, sebelum aku menjadi seorang
mahasiswa. Aku sedikit malu tapi senang karena setidaknya orang-orang yang hadir
itu tahu namaku. Tak lama kemudian giliran teman-teman dari UGM itu
memperkenalkan diri masing-masing. Aku menantikan saat dia menyebutkan nama,
alamat, dan jurusannya. Karena jarak yang agak jauh jadi aku tidak mendengar
namanya dengan jelas. Tapi ada beberapa kata yang aku dapat dari namanya. Yang
aku tangkap dari namanya adalah Azizah Nadila, hanya 2 kata sedangkan namanya
terdiri dari 3 kata. Dia berasal dari Kota Solo, Jawa Tengah dengan jurusan
Psikologi.”
“Jadi kau tidak tau nama lengkapnya, mungkinkah itu
berita buruknya?”, sahutku mendengar cerita itu. “Tidak, tidak. Ceritanya belum
berakhir, ini masih awal dan masih merupakan berita baiknya. Kau jangan
memotong ceritaku. Perhatikan saja. Mengerti?” tegasnya. “Maaf, aku terbawa suasana. Baiklah
aku tidak akan memotong ceritamu lagi. Silahkan lanjutkan.” balasku melihat dia
sedikit kesal karena aku memotong ceritanya. Kemudian dia melanjutkan
ceritanya.
“Setelah perkenalan itu, acara dilanjutkan dengan
penyampaian materi dari mahasiswa UGM tersebut. Materi pertama yang disampaikan
adalah materi tentang kesehatan dan dibawakan oleh seorang mahasiswi jurusan
Farmasi. Setelah itu, materi terakhir tentang pernikahan dan ternyata dialah
yang menyampaikan materi tersebut. Aku kira dia tidak akan menyampaikan sebuah materi.
Malam itu aku benar-benar beruntung. Bukan hanya melihatnya saja, aku bahkan
bisa mendengar suaranya lebih lama. Dan ternyata makin membuatku tertarik untuk
lebih mengenalnya. Tapi aku tau, dia hanya sementara di desaku, dan kebersamaan
ini hanya sebentar karena acaranya akan segera berakhir. Maka dari itu, tanpa
pikir panjang aku mengambil teleponku lalu merekam materi yang dia sampaikan.
Meskipun aku tidak terlalu memperhatikan materinya karena terlalu fokus
memandanginya.”
“Setelah dia selesai menyampaikan materinya, aku
mulai kebingungan. Karena acara mulai berakhir sedangkan aku belum mendapatkan
kepastian akan namanya. Kebetulan di acara itu aku juga punya seorang teman
perempuan yang bernama Feby. Kau juga tau sepertinya.”. Aku menggangguk tanpa
memotong ceritanya. “Feby duduk tidak jauh dari dia. Kemudian aku mengirimkan
pesan meminta tolong Feby untuk menanyakan namanya sekaligus nomor teleponnya
agar aku bisa menghubunginya. Setelah mendesak Feby, akhirnya Feby mengirimkan
pesan yang berisi nama dan nomor telepon. Seketika aku kegirangan di tempat
dudukku. Namanya Aziza Risda Nadila.”.
“Benar ternyata dugaanku, tak lama kemudian acara
selesei. Dia beserta teman-temannya langsung menuju pintu keluar kemudian pergi.
Aku terdiam sejenak tak sabar untuk menghubunginya. Aku berjalan keluar lalu
pulang. Sesampainya dirumah, aku menyimpan nomor teleponnya tapi belum
menghubunginya karena hari sudah malam. Keesokan paginya, aku menghubunginya.
Sambil berharap-harap cemas, aku menunggu pesan balasan darinya. Bahkan aku
tidak sanggup membayangkan teleponku berdering. Aku menunggunya sambil
berbaring di sofa karena kemarin cukup melelahkan.”
“Teleponku berdering, ternyata dia membalas pesanku.
Responnya sangat baik. Bahkan lebih dari yang aku bayangkan. Dia asik diajak berbicara.
Percakapan kita pagi itu cukup lama. Karena dia ada kegiatan lapangan lainnya,
percakapan kita dicukupkan dan dilanjutkan malam harinya. Hari demi hari kita
habiskan saling berkomunikasi. Kegiatan KKN-nya berakhir tanggal 7 Agustus
sedangkan waktu ku di rumah hanya sampai 31 Juli sebelum aku kembali berangkat
ke Bandung, jadi aku ingin membawanya ke tempat yang belum bahkan sepertinya
tidak akan dia kunjungi jika bukan karena aku. Aku sudah menandai beberapa
tempat yang tersembunyi tapi menarik untuk dilihat.”
“Aku ingin mengajaknya ke pelabuhan Sentolo yang
tidak jauh dari rumahku, pelabuhan yang dulunya merupakan pelabuhan lumayan
besar karena kapal Ferry pun sering ada disitu. Rutenya mungkin dari Kalipucang-Cilacap,
aku juga tidak tahu. Tapi sekarang sudah tidak berfungsi, karena sungainya yang
sudah dangkal. Kemudian mengajaknya melewati perbatasan Jawa Barat dan Jawa
Tengah yang hanya dipisahkan oleh sungai Citanduy. Aku juga ingin mengajaknya ke pelabuhan Majingklak
yang lumayan jauh dari tempat tinggalku. Akses menuju kesana juga termasuk
bagus, sebelum sampai di pelabuhan Majingklak, kita akan disuguhi pemandangan
khas pedalaman, sawah di kiri dan kanan jalan, sungai Citanduy yang terlihat di
sebelah kiri dan di seberangnya merupakan daerah Jawa Tengah. Sesampainya di
pelabuhan Majingklak, kita akan melihat pertemuan air tawar dan air asin
sehingga kadang nampak perbedaan warna dari sungainya itu. Dan di depannya kita
bisa melihat pulau Nusa Kambangan.”.
“Setelah itu aku ingin mengajaknya ke sebuah peninggalan
jaman Belanda yang merupakan terowongan kereta api terpanjang di Indonesia.
Meskipun sekarang tidak lagi digunakan. Terletak di kawasan wisata Karang Nini,
akses ke terowongan ini cukup sulit karena memang berada di dalam hutan. Jika
kita bisa melihat pintu masuk yang sangat besar, diujung sana terlihat cahaya
dari pintu keluar yang sangat kecil karena jauhnya sekitar 1.200 meter. Dan
terakhir, aku ingin mengajaknya ke tempat tinggi yang bisa melihat kawasan
Pangandaran serta samudra Hindia yang terbentang didepan, yaitu di Lembah
Putri.”
“Kemudian aku realisasikan keinginanku itu. Pada
hari Sabtu, 30 Juli aku mengajaknya berkeliling ke tempat-tempat yang sudah aku
sebutkan tadi. Dia menerimanya, dan siang harinya aku menjemputnya dari tempat
tinggal sementaranya yang tidak jauh dari rumahku. Dia meminta ijin kepada
teman-temannya tidak bisa mengikuti kegiatan lapangan hanya untuk menemani hari
terakhirku disini. Oleh karena itu aku ingin membuatnya terkesan dan memiliki
kenangan bagus ketika dia berada disini, di desaku. Aku mengajaknya ke
tempat-tempat tadi sekaligus menjelaskannya. Aku seperti seorang pemandu wisata
yang menjelaskan berbagai hal yang aku ketahui mengenai tempat-tempat itu.”
“Dia sepertinya senang dengan apa yang dia alami,
aku bisa melihatnya dari tingkah yang dia tunjukkan. Senyum polosnya membuatku
senang, tawanya membuatku bahagia. Aku jatuh cinta padanya. Di tempat terakhir
yang kita kunjungi, hari mulai gelap, dia masih saja bersemangat seakan
perjalanan itu tidak membuatnya lelah. Dia melihat kearah matahari tenggelam ketika
aku meliriknya.”
“Aku pegang tangannya yang lembut, dan dia
meresponnya dengan baik. Perlahan-lahan matahari mulai terbenam, sambil tangan
kita berpegangan. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini, aku melihatnya
sejenak sambil mengumpulkan keberanianku. Kemudian aku palingkan wajahnya untuk
melihatku. Sambil tetap memegang tangannya dengan kedua tanganku, dengan penuh
keyakinan aku mengatakan kalau aku jatuh cinta padanya. Dan memintanya untuk
menjadi kekasihku. Dengan harapan yang tinggi bahwa dia akan menerima
perasaanku, aku menantikan jawabannya saat itu. Kau tau apa yang terjadi ?”,
selanya.
“Ah, sepertinya semua yang kau ceritakan itu
merupakan berita baiknya dan berita buruknya kau ditolak, begitu ?”, jawabku
penuh canda. Sahabatku ini sepertinya menampilkan ekspresi kebalikan dari apa
yang aku tanyakan. Dia tertawa terbahak-bahak. Kemudian dia melanjutkan
ceritanya.
“Bukan seperti itu, teman. Pikiranmu terlalu sempit.
Memang agak lama dia menjawabnya. Tapi dia menerimaku dengan baik. Dia
tersenyum dengan penuh keyakinan bahwa dia mau menjadi kekasihku. Perasaanku
waktu itu sangat bahagia sekali. Serasa aku ingin memeluknya dan tanpa sadar
aku ternyata sedang memeluknya sesaat sampai aku tersadar kembali dan meminta
maaf padanya. Aku senang dan juga malu atas kelakuanku itu. Matahari sudah
terbenam, hari sudah gelap. Setelah itu, kita berdua pulang dan aku mengajaknya
makan malam terlebih dahulu. Tak banyak kejadian menarik ketika kita makan,
sepertinya kejadian hari ini membuat kita berdua senyum-senyum sendiri. Dia
tidak menghabiskan makanannya karena memang porsinya yang banyak. Beruntung aku
merupakan seorang yang suka makan, jadi kuhabiskan juga makanannya. Akhirnya
perjalanan kita selesei sudah ketika aku mengantarkannya pulang dengan
selamat.”
“Aku bergegas pulang setelah berpamitan. Aku
menyodorkan tanganku dan dia mengerti apa maksudku. Dia menerima tanganku,
kemudian menempelkannya di keningnya tapi setelah itu dia juga mendorong
tangannya untuk menempelkannya di keningku. Lalu aku pergi. Disepanjang jalan
aku bersenandung riang, karena hari ini berjalan dengan sangat baik. Dan
setelah sekian lama akhirnya aku mempunyai kekasih. Memang jika dilihat samar,
dia mirip dengan kekasihku sebelumnya. Ada beberapa kesamaan tapi aku tetap
melihatnya secara terpisah. Malam itu aku sangat senang, setelah mempersiapkan
keperluanku untuk berangkat besok, aku kembali menghubunginya. Dia sangat baik
dan perhatian. Beruntung sekali aku menemukannya. Aku berbaring di sofa sambil
tetap berkomunikasi, sepertinya efek lelahnya mulai bekerja. Dan tak lama
kemudian aku tertidur”
“Tapi”, dia memotong pembicaraannya dan minum dengan
berat. Aku menduga bahwa sepertinya dia akan bercerita tentang berita buruknya.
“ketika aku terbangun karena teleponku berdering, aku melihat jam dinding dan aku
terkejut ternyata hari sudah sore. Aku mulai panik karena merasa seharusnya aku
sudah berangkat ke Bandung. Kulihat teleponku yang berdering. Ada pesan masuk
dari ibuku. Sambil membukanya, aku bertanya-tanya kenapa ibuku baru membangunkanku
sekarang. Seketika aku lebih terkejut lagi ketika melihat tanggal hari itu.
Ternyata tanggal 21 Juli pukul 17.13 WIB. Dan ketika membaca pesan itu, aku
ternyata disuruh untuk ke toko. Aku kira, mendapat pesan dari dia karena aku
merasa aku ketiduran dan tidak menghubunginya pada saat aku berangkat.
Keterkejutanku saat itu belum berakhir, dia sama sekali tidak membalas pesanku.
Aku sama sekali masih belum percaya dengan apa yang baru saja aku lalui.”
“Jadi semua itu hanya mimpi belaka?”, jawabku yang
penuh dengan keheranan.
“Iya benar, dan ini merupakan berita buruknya. Aku
sama sekali tidak mengalami kejadian-kejadian itu. Kejadian sebenarnya, aku hanya
tertidur lama di sofa di pagi hari itu. Karena kejadian tanggal 20 Juli yang membuatku
lelah, setelah menghubunginya dan menunggu balasan darinya, ternyata aku
tertidur sampai terbangun di sore hari itu. Tapi aku merasa seperti baru saja
mengalami kejadian itu dan aku seharusnya terbangun di pagi hari tanggal 31
Juli dan bersiap untuk berangkat ke Bandung. Tapi nyatanya aku hanya bermimpi.”
“Apa ? Semua yang kau alami itu hanya sebuah mimpi
?”, sahutku mendengar kenyataannya.
“Iya benar, mimpi. Mimpi yang membuatku bahagia, itu
seperti mimpi indah di musim panas dan sudah waktunya aku untuk bangun dan melihat
kenyataan bahwa dia sama sekali tidak merespon pesanku. Aku tidak bisa berbuat
banyak, sepertinya dia hanya sebatas kupu-kupu yang menarik perhatianku. Ketika
aku mencoba mengerjarnya dia terbang menjauh dan menghilang. Untuk beberapa
saat aku terhenyak, lalu bangkit dari sofa dan bersiap untuk mandi. Membasuh
wajah dan seluruh badanku yang masih belum terlepas dari mimpi itu. Mencoba
membangunkan seluruh tubuhku untuk segera tersadar. Setelah itu aku pergi ke
toko dan menjalani hariku seperti biasa, seakan tidak terjadi apa-apa.”
Mendengar semua cerita panjang yang hanya sebuah
mimpi, aku mengambil minumanku dan menghabiskannya. Aku serasa masuk kedalam
ceritanya dan senang dengan apa yang dialaminya, tapi sama sepertinya, aku
terkejut ketika itu semua hanya sebuah mimpi. Mimpi indah di pagi hari yang
membuatnya merasa bahagia dan sulit sekali untuk melupakannya. Dia juga
mengambil minumannya dan memandang hampa ke atas langit-langit teras. Angin
malam berhembus membuat keadaan semakin dingin. Entah apa yang harus aku
katakan padanya, aku sendiri terpukul dengan kenyataan yang baru saja aku
dengar.
Malam itu kami habiskan satu botol minuman untuk
menghangatkan tubuh dari dinginnya angin malam. Waktu sudah menunjukkan tengah
malam, ceritanya kali ini memang panjang dan jika kupikir-pikir sama sekali
tidak ada berita baiknya, semuanya hanyalah sebuah mimpi meskipun dia memang
memiliki nomor teleponnya. Aku tidak banyak berbicara setelah mendengarnya,
mencoba menenangkannya dan menyuruhnya untuk menginap di rumahku. Tapi dia
menolak, dia beranjak dari tempat duduknya dan pamit. Aku tidak bisa
menahannya, karena sama sekali tidak menolongnya. Aku melepas kepergiannya. Dia
berjalan cukup tenang, berbeda dari kedatangannya. Dia menatap langit hitam
yang penuh dengan awan. Sampai akhirnya dia menjauh dari jangkauanku. Aku
lantas masuk kedalam dan mengakhiri hari itu dengan tertidur lelap.
Selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar