Kamis, 28 Juli 2016

Pagi yang Memilukan


Aku sedang duduk menikmati malam yang dingin di depan rumah ketika sahabatku datang berkunjung. Sudah lama semenjak dia terakhir kali mengunjungiku. Dia sepertinya sedang senang. Terlihat dari caranya berjalan yang penuh semangat. Sembari sesekali bersiul di tengah kesunyian malam. Ketika hampir sampai dia melihat ke arahku sambil melambaikan tangannya.

“Sedang apa kau di luar ? Apakah aku mengganggumu ?”, tanyanya ketika menghampiriku sambil berjabat tangan.
“Tidak, seperti yang kau lihat. Bagaimana kabarmu ?”, jawabku sambil mempersilahkan dia duduk.
“Kabar baik. Kau sendiri bagaimana ?”
“Baik sekali. Apa yang membawamu datang jauh-jauh kemari?”
“Ada sesuatu yang ingin aku ceritakan, tapi sedang apa kau diluar, apakah kau ada masalah?”
“Tidak, tidak ada. Hanya ingin menghirup udara malam. Sepertinya suasana hatimu sedang bagus. Pasti ada berita baik yang akan kau sampaikan. Benar?”
“Bagaimana kau tahu, aku bahkan belum sempat mengatakannya. Tapi seperti biasa aku punya berita baik sekaligus berita buruk. Maukah kau mendengarkan?”
“Baiklah, aku akan menjadi pendengar yang baik. Sebelum kau bercerita, aku akan membawakan minuman. Tunggulah sebentar, sepertinya ceritamu panjang.”
“Benar sekali, kau memang sahabat yang paling pengertian.”
Aku masuk ke dalam untuk mengambil minuman. Aku bertanya-tanya seperti apa cerita yang akan dia sampaikan. Dia bilang ada dua berita sekaligus, baik dan buruk. Tapi kenapa dia masih bersikap senang sekali. Pikiranku seketika terhenti ketika sudah sampai didepan dan menuangkan minuman untuk kita berdua. “Minumlah dulu sebelum kau bercerita.” ucapku.
“Baiklah,” jawabnya sambil meminum segelas air yang sudah kusediakan, kemudian melanjutkan pembicaraannya, ”ini bermulai ketika hari Rabu 20 Juli aku mendapat surat undangan dari organisasi Paguyuban Generasi Muda An-Nur (Pagma), isinya adalah undangan kegiatan silaturahmi dan diskusi dengan pemuda disekitarku dan dihadiri tamu undangan yang berasal dari mahasiswa Universitas Gadjah Mada yang sedang melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di desaku. Aku merasa tertarik karena akan dihadiri oleh mahasiswa UGM, aku luangkan waktuku untuk menghadiri acara itu. Acaranya dimulai pukul 20.00 WIB.”.
“Aku datang lebih awal dari yang lain agar aku tahu siapa saja yang datang. Ada beberapa temanku yang datang dan mendapat surat undangan yang sama. Kita menunggu diluar ruangan, menunggu yang lainnya datang. Mahasiswa dan mahasiswi UGM datang bersamaan, dan mereka langsung memasuki ruangan. Ada 2 mahasiswa dan 6 mahasiswi yang datang mewakili. Setelah semuanya berkumpul, aku dan teman-temanku memasuki ruangan. Aku duduk di pojok belakang agar bisa melihat setiap orang dari UGM itu dan berharap ada yang menarik perhatianku. Dan ternyata ada. Dia seorang perempuan yang manis, bertubuh kecil sedang, dan terlihat lebih tua dariku. Karena ketertarikanku, jadi aku sesekali memperhatikan setiap geraknya.”
“Saat Ust. Akbar selaku pembina Pagma membuka acara dan memperkenalkan setiap pemuda dari desaku, dia juga memperkenalkanku sebagai seseorang yang dulunya juga merupakan ketua dari Pagma, sebelum aku menjadi seorang mahasiswa. Aku sedikit malu tapi senang karena setidaknya orang-orang yang hadir itu tahu namaku. Tak lama kemudian giliran teman-teman dari UGM itu memperkenalkan diri masing-masing. Aku menantikan saat dia menyebutkan nama, alamat, dan jurusannya. Karena jarak yang agak jauh jadi aku tidak mendengar namanya dengan jelas. Tapi ada beberapa kata yang aku dapat dari namanya. Yang aku tangkap dari namanya adalah Azizah Nadila, hanya 2 kata sedangkan namanya terdiri dari 3 kata. Dia berasal dari Kota Solo, Jawa Tengah dengan jurusan Psikologi.”
“Jadi kau tidak tau nama lengkapnya, mungkinkah itu berita buruknya?”, sahutku mendengar cerita itu. “Tidak, tidak. Ceritanya belum berakhir, ini masih awal dan masih merupakan berita baiknya. Kau jangan memotong ceritaku. Perhatikan saja. Mengerti?”  tegasnya. “Maaf, aku terbawa suasana. Baiklah aku tidak akan memotong ceritamu lagi. Silahkan lanjutkan.” balasku melihat dia sedikit kesal karena aku memotong ceritanya. Kemudian dia melanjutkan ceritanya.
“Setelah perkenalan itu, acara dilanjutkan dengan penyampaian materi dari mahasiswa UGM tersebut. Materi pertama yang disampaikan adalah materi tentang kesehatan dan dibawakan oleh seorang mahasiswi jurusan Farmasi. Setelah itu, materi terakhir tentang pernikahan dan ternyata dialah yang menyampaikan materi tersebut. Aku kira dia tidak akan menyampaikan sebuah materi. Malam itu aku benar-benar beruntung. Bukan hanya melihatnya saja, aku bahkan bisa mendengar suaranya lebih lama. Dan ternyata makin membuatku tertarik untuk lebih mengenalnya. Tapi aku tau, dia hanya sementara di desaku, dan kebersamaan ini hanya sebentar karena acaranya akan segera berakhir. Maka dari itu, tanpa pikir panjang aku mengambil teleponku lalu merekam materi yang dia sampaikan. Meskipun aku tidak terlalu memperhatikan materinya karena terlalu fokus memandanginya.”
“Setelah dia selesai menyampaikan materinya, aku mulai kebingungan. Karena acara mulai berakhir sedangkan aku belum mendapatkan kepastian akan namanya. Kebetulan di acara itu aku juga punya seorang teman perempuan yang bernama Feby. Kau juga tau sepertinya.”. Aku menggangguk tanpa memotong ceritanya. “Feby duduk tidak jauh dari dia. Kemudian aku mengirimkan pesan meminta tolong Feby untuk menanyakan namanya sekaligus nomor teleponnya agar aku bisa menghubunginya. Setelah mendesak Feby, akhirnya Feby mengirimkan pesan yang berisi nama dan nomor telepon. Seketika aku kegirangan di tempat dudukku. Namanya Aziza Risda Nadila.”.
“Benar ternyata dugaanku, tak lama kemudian acara selesei. Dia beserta teman-temannya langsung menuju pintu keluar kemudian pergi. Aku terdiam sejenak tak sabar untuk menghubunginya. Aku berjalan keluar lalu pulang. Sesampainya dirumah, aku menyimpan nomor teleponnya tapi belum menghubunginya karena hari sudah malam. Keesokan paginya, aku menghubunginya. Sambil berharap-harap cemas, aku menunggu pesan balasan darinya. Bahkan aku tidak sanggup membayangkan teleponku berdering. Aku menunggunya sambil berbaring di sofa karena kemarin cukup melelahkan.”
“Teleponku berdering, ternyata dia membalas pesanku. Responnya sangat baik. Bahkan lebih dari yang aku bayangkan. Dia asik diajak berbicara. Percakapan kita pagi itu cukup lama. Karena dia ada kegiatan lapangan lainnya, percakapan kita dicukupkan dan dilanjutkan malam harinya. Hari demi hari kita habiskan saling berkomunikasi. Kegiatan KKN-nya berakhir tanggal 7 Agustus sedangkan waktu ku di rumah hanya sampai 31 Juli sebelum aku kembali berangkat ke Bandung, jadi aku ingin membawanya ke tempat yang belum bahkan sepertinya tidak akan dia kunjungi jika bukan karena aku. Aku sudah menandai beberapa tempat yang tersembunyi tapi menarik untuk dilihat.”
“Aku ingin mengajaknya ke pelabuhan Sentolo yang tidak jauh dari rumahku, pelabuhan yang dulunya merupakan pelabuhan lumayan besar karena kapal Ferry pun sering ada disitu. Rutenya mungkin dari Kalipucang-Cilacap, aku juga tidak tahu. Tapi sekarang sudah tidak berfungsi, karena sungainya yang sudah dangkal. Kemudian mengajaknya melewati perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah yang hanya dipisahkan oleh sungai Citanduy. Aku juga  ingin mengajaknya ke pelabuhan Majingklak yang lumayan jauh dari tempat tinggalku. Akses menuju kesana juga termasuk bagus, sebelum sampai di pelabuhan Majingklak, kita akan disuguhi pemandangan khas pedalaman, sawah di kiri dan kanan jalan, sungai Citanduy yang terlihat di sebelah kiri dan di seberangnya merupakan daerah Jawa Tengah. Sesampainya di pelabuhan Majingklak, kita akan melihat pertemuan air tawar dan air asin sehingga kadang nampak perbedaan warna dari sungainya itu. Dan di depannya kita bisa melihat pulau Nusa Kambangan.”.
“Setelah itu aku ingin mengajaknya ke sebuah peninggalan jaman Belanda yang merupakan terowongan kereta api terpanjang di Indonesia. Meskipun sekarang tidak lagi digunakan. Terletak di kawasan wisata Karang Nini, akses ke terowongan ini cukup sulit karena memang berada di dalam hutan. Jika kita bisa melihat pintu masuk yang sangat besar, diujung sana terlihat cahaya dari pintu keluar yang sangat kecil karena jauhnya sekitar 1.200 meter. Dan terakhir, aku ingin mengajaknya ke tempat tinggi yang bisa melihat kawasan Pangandaran serta samudra Hindia yang terbentang didepan, yaitu di Lembah Putri.”
“Kemudian aku realisasikan keinginanku itu. Pada hari Sabtu, 30 Juli aku mengajaknya berkeliling ke tempat-tempat yang sudah aku sebutkan tadi. Dia menerimanya, dan siang harinya aku menjemputnya dari tempat tinggal sementaranya yang tidak jauh dari rumahku. Dia meminta ijin kepada teman-temannya tidak bisa mengikuti kegiatan lapangan hanya untuk menemani hari terakhirku disini. Oleh karena itu aku ingin membuatnya terkesan dan memiliki kenangan bagus ketika dia berada disini, di desaku. Aku mengajaknya ke tempat-tempat tadi sekaligus menjelaskannya. Aku seperti seorang pemandu wisata yang menjelaskan berbagai hal yang aku ketahui mengenai tempat-tempat itu.”
“Dia sepertinya senang dengan apa yang dia alami, aku bisa melihatnya dari tingkah yang dia tunjukkan. Senyum polosnya membuatku senang, tawanya membuatku bahagia. Aku jatuh cinta padanya. Di tempat terakhir yang kita kunjungi, hari mulai gelap, dia masih saja bersemangat seakan perjalanan itu tidak membuatnya lelah. Dia melihat kearah matahari tenggelam ketika aku meliriknya.”
“Aku pegang tangannya yang lembut, dan dia meresponnya dengan baik. Perlahan-lahan matahari mulai terbenam, sambil tangan kita berpegangan. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini, aku melihatnya sejenak sambil mengumpulkan keberanianku. Kemudian aku palingkan wajahnya untuk melihatku. Sambil tetap memegang tangannya dengan kedua tanganku, dengan penuh keyakinan aku mengatakan kalau aku jatuh cinta padanya. Dan memintanya untuk menjadi kekasihku. Dengan harapan yang tinggi bahwa dia akan menerima perasaanku, aku menantikan jawabannya saat itu. Kau tau apa yang terjadi ?”, selanya.
“Ah, sepertinya semua yang kau ceritakan itu merupakan berita baiknya dan berita buruknya kau ditolak, begitu ?”, jawabku penuh canda. Sahabatku ini sepertinya menampilkan ekspresi kebalikan dari apa yang aku tanyakan. Dia tertawa terbahak-bahak. Kemudian dia melanjutkan ceritanya.
“Bukan seperti itu, teman. Pikiranmu terlalu sempit. Memang agak lama dia menjawabnya. Tapi dia menerimaku dengan baik. Dia tersenyum dengan penuh keyakinan bahwa dia mau menjadi kekasihku. Perasaanku waktu itu sangat bahagia sekali. Serasa aku ingin memeluknya dan tanpa sadar aku ternyata sedang memeluknya sesaat sampai aku tersadar kembali dan meminta maaf padanya. Aku senang dan juga malu atas kelakuanku itu. Matahari sudah terbenam, hari sudah gelap. Setelah itu, kita berdua pulang dan aku mengajaknya makan malam terlebih dahulu. Tak banyak kejadian menarik ketika kita makan, sepertinya kejadian hari ini membuat kita berdua senyum-senyum sendiri. Dia tidak menghabiskan makanannya karena memang porsinya yang banyak. Beruntung aku merupakan seorang yang suka makan, jadi kuhabiskan juga makanannya. Akhirnya perjalanan kita selesei sudah ketika aku mengantarkannya pulang dengan selamat.”
“Aku bergegas pulang setelah berpamitan. Aku menyodorkan tanganku dan dia mengerti apa maksudku. Dia menerima tanganku, kemudian menempelkannya di keningnya tapi setelah itu dia juga mendorong tangannya untuk menempelkannya di keningku. Lalu aku pergi. Disepanjang jalan aku bersenandung riang, karena hari ini berjalan dengan sangat baik. Dan setelah sekian lama akhirnya aku mempunyai kekasih. Memang jika dilihat samar, dia mirip dengan kekasihku sebelumnya. Ada beberapa kesamaan tapi aku tetap melihatnya secara terpisah. Malam itu aku sangat senang, setelah mempersiapkan keperluanku untuk berangkat besok, aku kembali menghubunginya. Dia sangat baik dan perhatian. Beruntung sekali aku menemukannya. Aku berbaring di sofa sambil tetap berkomunikasi, sepertinya efek lelahnya mulai bekerja. Dan tak lama kemudian aku tertidur”
“Tapi”, dia memotong pembicaraannya dan minum dengan berat. Aku menduga bahwa sepertinya dia akan bercerita tentang berita buruknya. “ketika aku terbangun karena teleponku berdering, aku melihat jam dinding dan aku terkejut ternyata hari sudah sore. Aku mulai panik karena merasa seharusnya aku sudah berangkat ke Bandung. Kulihat teleponku yang berdering. Ada pesan masuk dari ibuku. Sambil membukanya, aku bertanya-tanya kenapa ibuku baru membangunkanku sekarang. Seketika aku lebih terkejut lagi ketika melihat tanggal hari itu. Ternyata tanggal 21 Juli pukul 17.13 WIB. Dan ketika membaca pesan itu, aku ternyata disuruh untuk ke toko. Aku kira, mendapat pesan dari dia karena aku merasa aku ketiduran dan tidak menghubunginya pada saat aku berangkat. Keterkejutanku saat itu belum berakhir, dia sama sekali tidak membalas pesanku. Aku sama sekali masih belum percaya dengan apa yang baru saja aku lalui.”
“Jadi semua itu hanya mimpi belaka?”, jawabku yang penuh dengan keheranan.
“Iya benar, dan ini merupakan berita buruknya. Aku sama sekali tidak mengalami kejadian-kejadian itu. Kejadian sebenarnya, aku hanya tertidur lama di sofa di pagi hari itu. Karena kejadian tanggal 20 Juli yang membuatku lelah, setelah menghubunginya dan menunggu balasan darinya, ternyata aku tertidur sampai terbangun di sore hari itu. Tapi aku merasa seperti baru saja mengalami kejadian itu dan aku seharusnya terbangun di pagi hari tanggal 31 Juli dan bersiap untuk berangkat ke Bandung. Tapi nyatanya aku hanya bermimpi.”
“Apa ? Semua yang kau alami itu hanya sebuah mimpi ?”, sahutku mendengar kenyataannya.
“Iya benar, mimpi. Mimpi yang membuatku bahagia, itu seperti mimpi indah di musim panas dan sudah waktunya aku untuk bangun dan melihat kenyataan bahwa dia sama sekali tidak merespon pesanku. Aku tidak bisa berbuat banyak, sepertinya dia hanya sebatas kupu-kupu yang menarik perhatianku. Ketika aku mencoba mengerjarnya dia terbang menjauh dan menghilang. Untuk beberapa saat aku terhenyak, lalu bangkit dari sofa dan bersiap untuk mandi. Membasuh wajah dan seluruh badanku yang masih belum terlepas dari mimpi itu. Mencoba membangunkan seluruh tubuhku untuk segera tersadar. Setelah itu aku pergi ke toko dan menjalani hariku seperti biasa, seakan tidak terjadi apa-apa.”
Mendengar semua cerita panjang yang hanya sebuah mimpi, aku mengambil minumanku dan menghabiskannya. Aku serasa masuk kedalam ceritanya dan senang dengan apa yang dialaminya, tapi sama sepertinya, aku terkejut ketika itu semua hanya sebuah mimpi. Mimpi indah di pagi hari yang membuatnya merasa bahagia dan sulit sekali untuk melupakannya. Dia juga mengambil minumannya dan memandang hampa ke atas langit-langit teras. Angin malam berhembus membuat keadaan semakin dingin. Entah apa yang harus aku katakan padanya, aku sendiri terpukul dengan kenyataan yang baru saja aku dengar.
Malam itu kami habiskan satu botol minuman untuk menghangatkan tubuh dari dinginnya angin malam. Waktu sudah menunjukkan tengah malam, ceritanya kali ini memang panjang dan jika kupikir-pikir sama sekali tidak ada berita baiknya, semuanya hanyalah sebuah mimpi meskipun dia memang memiliki nomor teleponnya. Aku tidak banyak berbicara setelah mendengarnya, mencoba menenangkannya dan menyuruhnya untuk menginap di rumahku. Tapi dia menolak, dia beranjak dari tempat duduknya dan pamit. Aku tidak bisa menahannya, karena sama sekali tidak menolongnya. Aku melepas kepergiannya. Dia berjalan cukup tenang, berbeda dari kedatangannya. Dia menatap langit hitam yang penuh dengan awan. Sampai akhirnya dia menjauh dari jangkauanku. Aku lantas masuk kedalam dan mengakhiri hari itu dengan tertidur lelap.

Selesai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A Name of a Story 2

Neisyara Hanandya Setyana, itulah nama yang akhirnya gw dan istri gw berikan. Lahir di RS Hermina Bekasi Februari 2025. Anak pertama dari in...