Setelah beberapa tahun berlalu semenjak aku mempunyai perasaan terhadap orang lain diluar lingkunganku, akhir-akhir ini aku kembali merasakan hal yang sama. Seseorang yang sampai saat ini aku baru sekali melihatnya. Dia adalah teman sekolah menengah dari teman kuliahku. Dan aku melihatnya ketika teman kuliahku ini, dalam artian ketika kami merayakan wisuda, dia datang untuk memberikan selamat kepada temanku. Disitulah pertama kalinya aku melihatnya sekaligus menaruh perhatian padanya.
Setelah sekilas melihatnya, berselang berapa lama aku langsung menanyakan dia kepada temanku. Aku diberitahu namanya, media sosialnya dan juga statusnya. Sejauh yang kuingat, saat itu dia masih sendirian. Lantas aku langsung mencoba mengikuti media sosialnya. Dan dia pun tidak lama berselang, menerima permintaan pertemananku dan akhirnya kami saling mengikuti. Aku tidak ingat persis, apakah aku pernah mencoba menghubunginya atau hanya sebagai pengagum rahasia. Yang jelas, aku hanya menyampaikan ketertarikanku kepada temanku. Semesta masih belum memberikan jalan untuk aku mengenalnya.
Beberapa lama kemudian, aku melihat dari postingannya bahwa dia sedang jalan bersama seorang laki-laki. Dan aku memastikan kepada temanku, ternyata dia sudah tidak lagi sendirian. Akupun lantas hanya sebagai pengagum rahasianya, sampai pada akhirnya akupun mendapatkan pasanganku sendiri. Sama-sama punya pasangan, dan tentu saja aku fokus pada pasanganku sendiri membuatku berpikir bahwa ketertarikanku kepadanya hanya sebatas perasaan sepintas. Aku juga tidak pernah lagi melihatnya kecuali melalui media sosialnya. Sampai pada saat ketika aku memutuskan ingin menghilang dari teman-teman sekolah menengahku di media sosial, dan aku hapus pertemananku dengan mereka. Selain itu, aku juga menghapus pertemanan media sosialku dengan orang-orang yang sekiranya bukan teman satu kelas kampusku, dengan orang-orang yang aku tidak tahu, juga dengan orang-orang yang bisa dibilang asing.
Pada saat itu, aku memang sedang berada dalam fase yang sulit dijelaskan. Termasuk dia yang dengan berat hati aku hapus, karena aku merasa kalau diantara kami tidak akan ada keberlanjutan, hanya saling melihat postingan tanpa ada progress lebih jauh, apalagi aku merasa kalau aku bukan teman sekelasnya, bukan teman sekolah maupun kampusnya, yang pada dasarnya dia juga tidak mengenalku, bahkan tidak tahu aku yang mana orangnya. Dengan pemikiran bahwa dia juga mempunyai pasangan, untuk apa lagi diteruskan? Pada akhirnya aku menghapusnya dari media sosialku. Melupakan ketertarikanku kepadanya.
Hingga tiba waktunya, yang menurutku kalau semesta sedang memberikan jalan, ketika aku berada pada titik terendah sebagai laki-laki, aku kembali melihatnya dalam postingan yang dibagikan oleh temanku ini. Dia yang telah hilang dari pandanganku, tiba-tiba muncul kembali. Seolah aku menemukan ambisi untuk bangkit. Dengan perasaan yang canggung, aku menanyakannya kembali kepada temanku. Dan tentu saja tentang statusnya saat ini yang kupikir masih bersama pasangannya. Hingga temanku pun memberitahukanku bahwa dia saat ini juga sedang sendiri. Jawaban yang membuatku entah harus senang ataupun sedih. Berpisah bukan perkara yang mudah. Aku tahu betul. Meskipun aku tidak tahu apakah memang itu sudah terjadi lama atau baru-baru ini. Tapi ada keinginan untuk bisa mengenalnya lebih dalam sampai memilikinya seutuhnya untuk selamanya. Sungguh mimpi yang tinggi setinggi langit.
Berbekal informasi yang aku dapatkan dari temanku, dengan harap-harap cemas aku mencoba kembali mengirimkan permintaan pertemanan di media sosial yang sama. Dengan perasaan bersalah dan aku memaklumi jika dia mengabaikan permintaanku. Tapi tidak lama kemudian, dia menerimanya dan malahan mengirimi permintaan yang serupa. Tanpa pikir panjang aku langsung menerimanya, kamipun akhirnya berteman kembali, dan sama-sama bisa melihat postingan-postingan yang kami bagikan. Dari situ, bukan berarti semuanya mudah. Butuh keberanian untuk menyapanya kembali. Dan aku tidak memiliki itu. Aku menunggu momen yang tepat, meskipun keinginan untuk menyapanya sangat besar. Dan aku teringat dari namanya, yang mengisyaratkan bahwa dia lahir di bulan ini.
Segera aku menghubungi temanku menanyakan hari ulang tahunnya, aku takut meskipun baru berjalan beberapa hari, hari ulangtahunnya sudah terlewat. Dan temanku tidak memberikan tanggal pasti, hanya menyampaikan bahwa ulang tahunnya sebentar lagi. Hari demi hari aku menunggunya, menunggu momen dia membagikan postingan tentang ulangtahunnya agar aku bisa memulai dari momen itu. Momen bahagianya. Sampai tiba waktunya hari yang ditunggu datang, dia membagikan momen itu yang malah membuatku bingung harus bagaimana. Ketidakmampuanku untuk cepat mengakrabkan diri dengan orang lain, ketidakcakapanku dengan orang baru, meskipun sudah mengetahui dari lama. Sampai akhirnya aku mengucapkannya dan menantikan balasannya.
Berselang lama, diapun membalas ucapanku dengan terimakasih. Dan juga pesan susulan yang menanyakan keheranannya kenapa kami mengirimkan pertemanan kembali. Dengan alasan pribadi yang belum bisa ku sampaikan, aku mencoba menghidupkan suasana percakapan kami. Hingga aku harus sadar diri ketika dia tidak melanjutkan percakapan dan sebatas membacanya saja. Hingga membuatku penasaran dan mencoba melihat media sosialnya. Sampai tiba dimana aku melihat hal yang membuatku tergugah dan semakin tertarik padanya, ingin mengenalnya lebih jauh lagi. Tapi aku juga bingung harus memulai lagi bagaimana. Aku hanya bisa merespon postingannya tanpa mengomentarinya. Sampai beberapa hari, ketika aku menunnggu postingannya yang tak kunjung datang. Dengan lugunya aku mengirimkan pesan. Dan dia dengan baiknya membalas pesanku. Dan mungkin itu adalah percakapan terpanjang yang pernah kami lakukan. Bahas berbagai topik, dan sedikit menyempilkan pertanyaan yang menentukan arah kedepannya. Percakapan yang memakan waktu berhari-hari harus berakhir ketika aku menyadari bahwa topik yang aku bangun sudah habis.
Sampai beberapa hari kemudian aku kembali merespon postingannya dan dia membalas dengan mengomentarinya. Membuatku semakin jauh menanggapinya, yang hanya aku saja yang merasa seperti itu. Melanjutkan komentarnya sampai akhirnya dia tiba-tiba menghilang. Di sela-sela perjalananku aku selalu memikirkannya. Membuka kembali percakapan sebelumnya membuatku semakin bingung. Aku harus bagaimana. Sampai kemudian aku menanyakan keadaannya. Dan tak lama dia membalas tentang keadaannya. Mencoba menghiburnya yang malah semakin membuatku kikuk. Yang padahal hanya sebatas bercandanya dia. Setiap kali dia mengakhiri percakapan dan ketika dia membuat postingan tak jarang aku selalu mengomentarinya. Mungkin aku membuatnya kurang nyaman. Dan aku tidak menyadari itu.
Sampai tiba di pertengahan bulan berikutnya, ketika aku sudah buntu dengan apa yang harus aku lakukan. Ingin memberitahukannya bahwa niatku selama ini yang dalam artian mencoba mendekatinya semata-mata karena aku tertarik padanya. Agar dia mengetahui kenapa aku berbuat seperti itu, datang lagi dan lagi yang mungkin membuatnya risih. Aku takut bahwa waktuku sudah habis untuk bisa mengenalnya lebih jauh karena percakapan yang aku buat belum cukup untuk membuatnya terbuka. Jelas dengan keadaanku seperti ini, yang bukan siapa-siapanya dia, yang hanya mengenalku sebatas teman media sosial tapi sok-sok akrab, dan tidak ada kemajuan dalam upayaku mendekatinya, dan juga yang akhirnya "endingnya" mungkin sudah ditebak tapi dia tidak mengetahui perasaanku sebenarnya.
Akhirnya aku mencoba menyampaikannya. Sekarang atau tidak sama sekali. Aku jelaskan kepadanya detail kenapa aku tertarik padanya. Hal yang paling lugu, polos yang aku lakukan karena aku tidak mahir dalam mendekati orang baru. Dan tentu saja, jawabannya mungkin sudah ditebak. Tapi dia menyampaikannya yang membuatku menerka-nerka. Semakin terjebak dalam kebingunganku sendiri. Tapi mungkin bisa disimpulkan dengan jelas. Aku akan mencoba nya lagi dan lagi, meskipun kegagalan selalu menyertai, meskipun tidak ada kemajuan yang signifikan, dan meskipun aku sendiri bingung yang bahkan aku juga tidak berani karena ketidakcakapanku untuk mengajaknya bertemu. Dan aku paham betul, jangankan orang yang sedang fase pendekatan, yang sudah pacaran saja jika kondisinya jauh akan kalah dengan orang yang dekat.
Aku bisa apa? Aku bukanlah mereka yang bisa mendekati perempuan dengan semaunya, atau bisa mendekati perempuan yang mereka sukai meskipun dari luar pertemanan mereka. Aku tahu batasanku. Dan aku pasrahkan kembali semuanya, hanya mencoba melakukan apa yang aku bisa tapi dengan catatan aku juga tidak membuatnya risih dengan kehadiranku, apalagi dengan keadaan sekarang dia sudah mengetahui perasaanku. Mungkin senjataku hanyalah kesabaran. Dan yang aku tahu, buah dari kesabaran akan selalu berakhir manis, meskipun proses dari kesabaran itu terasa pahit. Untungnya aku sudah terbiasa dengan itu.
Jika dipikirkan kembali, dia adalah sosok yang aku gambarkan jika aku punya pasangan kelak. Sebuah keinginan-keinginan kecil jika aku punya pasangan hidup kelak. Tidak mengapa, jika aku punya mimpi setinggi langit, seperti kata pepatah, kalopun aku terjatuh, aku jatuh diantara bintang-bintang. Itu yang aku rasakan meskipun orang lain melihatnya sebagai sebuah kesia-siaan.
Aku juga belum tahu pasti apakah akan berakhir seperti sebelumnya atau bagaimana. Dan ini adalah bagian terakhir dari pengalamanku mengejar layangan. Atau mungkin lebih cocok dibilang aku sebagai sebuah layangan dan dia yang bermain layangan.
Jakarta, 21 Maret 2022