Kamis, 09 Desember 2021

Breaking The Line

Hari yang dijanjikan telah tiba, hari dimana aku menantikannya sampai aku selalu membayangkannya. Padahal aku tahu betul, jika aku memikirkan sebuah skenario tentang bagaimana hari itu berjalan, pada kenyataannya selalu saja tidak pernah terjadi. Tetap saja, sebelum hari itu tiba, aku dengan sadar malah memikirkan sebuah skenario. Mungkin setiap malam berbeda-beda, tapi tetap saja aku memikirkannya. Skenario terbaik untuk hari terbaik. Dan aku sesumbar perkataanku, jika sekalipun tidak terjadi aku akan menerima akibatnya. Tapi ternyata, akibat yang ditimbulkan diluar kemampuanku. 

Hari itupun sudah berlalu. Seperti yang aku takutkan atau memang ini salah satu kemampuanku. Jika aku memikirkan yang baik, selalu berakhir buruk. Jika aku memikirkan yang buruk, maka akan berakhir baik. Akhirnya sesuatu yang buruk pun terjadi. Skenario yang telah aku buat, benar-benar gagal dan tidak pernah terjadi. Dunia tidak setuju denganku, keadaan memaksa aku harus menerima kenyataan bahwa apa yang aku nantikan tidak menjadi kenyataan bahkan lebih buruk yang sama sekali aku tidak bayangkan. 

Akhirnya aku menghabiskan hari itu sendirian. Setelah berusaha, bersusah payah agar menjadi hari yang indah meskipun sangat terlambat. Tapi tetap saja, aku akan terima asal aku bisa menjalani hari dengannya dengan sisa waktu yang sedikit. Aku menunggunya. Dia tidak menampakkan dirinya. Dan aku tidak bisa menyalahkannya. Aku tau kondisinya dan aku tidak bisa memaksakannya. Aku kembali dengan tangan kosong. Mengunjungi tempat yang seharusnya dilalui bersama. Aku menatap kosong dan mulai membual. "Hari ini seharusnya aku bisa bersamanya, melalui hari yang luar biasa dengannya", dan aku mendapati diriku sendirian. 

Hari mulai larut, aku tidak beranjak sedikitpun dari tempatku berada. Aku tahu masih bisa bertemu dengannya. Mungkin besok atau lusa. Tapi hari itu, tidak akan datang dua kali. Bahkan tidak akan pernah datang kembali. Malam itu aku hanya menikmati kesendirianku dengan duniaku yang penuh kebahagiaan, tidak seperti dunia yang aku kenal ini. 

Sampai akhirnya aku mendapatkan seorang sahabat datang menemaniku. Membangunkanku dari mimpi indahku. "Bagaimana hari mu?" tanyanya polos. Aku terdiam. "Mungkin aku datang terlambat atau tepat waktu, entalah. Setidaknya aku sudah disini. Kau bisa ceritakan padaku.", sambungnya. 

"Seperti yang kau lihat, aku tidak akan berdiam diri disini jika hariku berjalan baik. Dia tidak datang dan aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya berpikir positif karena memang dunia tidak mengijinkannya bersamaku." Akupun menceritakannya.

"Aku tidak bisa menyemangatimu ataupun memberikanmu nasihat. Aku tahu itu tidak akan berpengaruh. Setidaknya aku bisa mendengarmu, dan kau bisa mengeluarkan keluh kesahmu. Itu yang kau butuhkan saat ini. Malam semakin gelap, ayo aku antarkan kau pulang", ajak sahabatku. Aku sudah lama mengenalnya dan kami melalui masa indahnya sekolah. 

Beberapa hari kemudian, aku bertemu dengannya. Akupun masih belum terlepas dari kejadian sebelumnya. Tapi aku tidak ingin menunjukkan kesedihanku. Aku mencoba seperti biasa, seolah-olah tidak pernah terjadi. Mungkin dia merasa bahwa hari itu bukan masalah yang besar. Aku saja yang berlebihan menanggapinya. Hari itu, kami berkumpul dengan yang lainnya. Dan sedikitpun dia tidak membahas atau bahkan memberikan petunjuk kalau dia akan mengganti hari itu. Meskipun aku tahu, memang tidak akan ada kesempatan kedua. 

Waktu berkumpul sudah selesai, seperti biasanya aku mengantarkannya pulang. Dan seolah-olah aku lupa bahwa aku pernah melalui hari yang kelam. Dengannya aku merasakan bahwa dunia baik-baik saja. Tapi, ada kalanya dalam perjalanan ketika kami saling diam menapaki jalan menuju rumahnya, aku kembali ke hari itu. Dan aku tidak berani menyampaikannya, aku tidak berani merusak harinya dengan mengingatkannya akan hari itu. Semakin mendekati rumahnya, aku semakin dikuasai oleh perasaan hari itu. 

Terlebih ketika dia menyuruhku masuk ke rumahnya, menikmati secangkir teh sebelum aku melanjutkan perjalanan pulang. Saat dia menyiapkan teh, aku sepenuhnya dikuasai oleh perasaan itu. Melihat sekeliling rumahnya yang padahal aku sudah tidak asing dengannya. Membawaku masuk ke tempat dimana seharusnya tidak aku datangi, tempat yang biasanya aku hanya melihat sisi luar pintu ruangan itu. Sudah menjadi aturan tidak tertulis semenjak aku mengenalnya beberapa tahun yang lalu, bahkan siapapun tidak ada yang berani masuk ke kamarnya. Tapi aku merasa bahwa dia memperlakukanku secara berbeda sehingga aku dikuasai oleh perasaan dimana aku merasa memilikinya dan tidak apa-apa jika aku masuk kedalamnya. 

Dan tidak lama kemudian dia memergokiku masuk ke tempat itu. Dengan nampan ditangannya, disusul bunyi gelas pecah. Menyadarkanku dari perasaan halusinasiku. Aku tahu aku sudah berbuat kesalahan besar. Aku baru melihatnya seperti itu. "Keluar sekarang juga", ucapnya dengan nada rintih lembut tapi jelas bahwa dia sedang marah atau mungkin lebih. Aku tidak bisa membantahnya, dengan melihat matanya yang berkaca-kaca, menatap lurus seolah-olah menembus kepalaku.

Belum sempat aku melihat tempat itu, aku berjalan keluar. Dan kulihat dia masih berdiri. Akupun pergi dari rumahnya. Disepanjang perjalanan aku menyesali perbuatanku. Apa yang aku pikirkan sampai-sampai berbuat seperti itu. Disitu aku menyadari bahwa, mungkin ini adalah awal dimana aku dan dia akan kembali menjadi asing. Jangankan kesempatan untuk bisa bersamanya kembali, mengganti hari itu. Bahkan untuk bertemu dan berkumpul lagi pun sulit. 

Jelas aku telah melewati batas, melanggar kepecercayaannya. Dan akan sulit untuk bisa kembali normal. Aku memikirkan semua hal buruk yang akan terjadi. Membiarkan langkah kaki membawaku. Sampai akhirnya aku kembali ke tempat dimana aku menghabiskan malam sebelumnya sendirian. Bedanya, sampai malam berlalu, tidak ada seorangpun yang datang. 

Aku benar-benar sendirian.

Jumat, 08 Oktober 2021

Part II: Home Sweet Home (NI)

 

Dia tidak pernah menginjakkan kakinya, bepergian sendiri ataupun sengaja mengunjungi. Tetapi semenjak hari itu, menjadi salah satu tempat yang sering dia kunjungi bahkan sendirian. Sebuah tempat yang dulu asing buatnya menjadi sesuatu yang dia juga bisa menyebutnya, Rumah.

Sabtu, 17 Juli 2021

Twelfth Relationships (N.I) Part I : The First

        Siang itu, aku bersiap-siap untuk pergi menemuinya. Memakai pakaian terbaikku, menggunakan minyak wangi dan meminjam helm temanku, dengan terburu-buru aku langsung melesat meninggalkan kontrakan menuju ke tempatnya. Aku tidak mau membuatnya menunggu terlalu lama. Dan aku juga sangat tidak sabar untuk melihatnya kembali setelah bertahun-tahun menghilang dari kehidupanku.        Sabtu, 25 November 2017 adalah hari dimana dia kembali menghubungiku. Mengucapkan selamat atas kelulusanku. Sebelumnya saat ulang tahunnya, aku mengucapkan selamat. Tapi aku tidak melanjutkan percakapan itu karena aku merasa sudah terlalu jauh. Tetapi hari itu, setelah mengucapkan selamat, dia meneruskan percakapan dan membuatku bertanya-tanya. "Ada apa ini? Kenapa hatiku berdebar-debar menunggu balasannya dan kenapa dia berbeda sekali dengan waktu itu?". Empat tahun yg lalu, aku pernah mencoba menghubunginya tapi responnya sangat dingin dan memaksaku untuk tidak melanjutkannya.

A Name of a Story 2

Neisyara Hanandya Setyana, itulah nama yang akhirnya gw dan istri gw berikan. Lahir di RS Hermina Bekasi Februari 2025. Anak pertama dari in...