Jumat, 02 Januari 2015

Dibalik 'the end' Number Eleven



Minggu, 28 Desember 2014 , 22:43 WIB

                Hari ini tepat seminggu setelah gua putus dari Cumi cewek yang udah gua pacarin sejak 1 tahun 9 bulan 7 hari yang lalu. Di malam seminggu yang lalu secara via telepon gua putusin baik-baik. Bukan hanya keinginan gua, tapi memang udah sama-sama merasa tidak cocok jadi ini merupakan keputusan bersama yang mungkin sama-sama juga merasakan sesuatu yang sakit tapi tidak berdarah. Tidak terkecuali gua, sebagai seorang cowok mungkin gua terlalu lembut atau apa karena ga bisa moveon secepat itu. Bahkan sampai saat ini gua masih ngerasa kehilangan. Dan entah kenapa memikirkannya 2 kali lebih sering dibanding sebelumnya. Berbagai kegiatan buat menyibukkan diri sendiri udah gua coba dari mulai maen game, nonton anime, pergi ke rumah sodara, bermain dengan adek, makan tidur nonton tv, semuanya untuk sebisa mungkin lepas dari hape. Tapi pada kenyataannya sama saja, gua masih ngerasa merindukan sesuatu yang udah lama hilang dan menjadi kebiasaan.

                Mungkin sekarang merupakan titik balik  buat gue dimana yang sebelumnya gue yang selalu memberikan rasa sakit buat dia. Banyak banget, gue juga sempet dan selalu berpikir untuk mengakhiri hubungan ini entah kapan. Pemikiran yang bodoh emang, berpikir seperti itu. Dalam benak gue, gue pengen ya punya jodoh dengan perempuan yang lebih muda dari gue. Kalo cumikan lebih tua sebulan kurang. Dia selalu berharap gue itu jodohnya. Tapi apa respon gue ? Cuma biasa aja malah seperti mengabaikannya. Juga ketika dia berharap untuk merayakan anniversary yang ke dua, respon gue seperti biasa biasa saja tidak antusias mendengarnya. Dalam benak gue hanyalah kapan waktu untuk bisa memutuskan ikatan ini. Tapi gue ga pernah menyangka akan seperti ini, gue sendiri seperti menyesalinya tapi apa boleh buat.
                Gue harus sadar ama diri gue sendiri, dia terlalu sempurna buat gue. Sedangkan gue tidak bisa memberikan yang terbaik buat dia, jangankan itu apa yang dia pengen termasuk harapan2 yang tadi diatas gue gaa bisa menyambutnya dengan baik sehingga membuat dia senang dan bahagia. Tapi gue malah berpikir untuk tidak seperti itu, takutnyaa gue ga bisa ngasih dan dia merasakan kekecewaan yang teramat dalam dan tentunya sakit hati. Ya semuanya jadi serba salah paham. Dia selalu ada buat gue, tapi gue disaat dia butuh gue malah ga ada dan marah2 bukannya menyemangati tapi malah membebani.
                Kalau dipikir-pikir, keputusan ini memang ada baiknya entah buat gue ataupun buat dia.  Pertama mungkin keputusan ini diambil bersama meskipun gue yang memulai dan yang mengakhirinya itupun karena dia yang bilang buat gue lepasin baik2 karena kita jadian pun baik2. Jadian yaa itu sudah lama sekali. Mungkin dalam benak gue jadian itupun setelah mengetahui kebenarannya ternyata bertolak belakang sehingga selalu merasakan sakit. Padahal jadian dan sebelum jadian itu diawali dengan berbagai kemajuan dan merupakan yang terbaik buat gue tapi gue masih diantara mereka. Selanjutnya adalah yang sebelum keputusan itupun kita udah seperti pisah ranjang, tanpa kabar tanpa berita. Dia sibuk dengan dunianya, gue juga sibuk dengan dunia gue. Dan itu berlangsung selama berhari-hari. Sehingga membuat kita untuk mengambil keputusan ini. Dan keuntungan buat gue karena sepertinya dia tidak terlalu terpukul. Berbeda dengan putus nyambung sebelumnya. Gue sih berharap gue yang diputusin dan gue yang ngerasain sakitnya dan mengiyakannya.
 Awalnya dia selalu memutuskan gue ketika terjadi kemarahan besar, dan disitu gue selalu meyakini dia dan meminta buat balikan lagi. Seiring berjalannya waktu, ini dimulai ketika kita membuka cerita hidup sebelum bertemu selagi pendekatan dan semua tentangnya. Dari situ gue menjadi kalang kabut, seperti hati gue yang sudah dicabik-cabik terasa sekali sakitnya tetapi tidak berdarah. Gue mencoba menutupi semua itu, mencoba kembali menerimanya apa adanya. Dan seiring waktu berjalan gue menjadi biasa saja, meskipun ketika disinggung, perasaan itu kembali ke permukaan. Dari situ ketika terjadi keributan lagi dan berakhir dengan lepasnya ikatan dia menangis, menangis dari dasar hati. Gue bisa ngerasainnya. Dan membuat gue kembali bertahan ga pengen melihat dia nangis dan menderita. Tak terasa kita kembali perang hubungan, kita saling melancarkan serangan kata-kata yang meyakinkan dan alasan2 yang menguatkan. Dan ketika gue kembali menyerah, dia hanya sedikit menunjukan kesedihannya dan dia pun menyetujuinya. Sebelumnya dia bercerita bahwa ada yang suka sama dia. Diapun belum berubah seperti biasa selalu ngabarin gue padahal udah putus. Dari situ gue ngerasa takut dia direbut orang itu. Keesokannya gue minta balikan ma dia dan dia pun dengan senang hati menerima gue. Dan kita berjalan kembali bersama.
Dan malapetaka pun tiba, karena memang keegoisan gue. Semenjak dia sibuk gue selalu marah2 sendiri dan kita juga sempet pisah ranjang tapi itu berakhirnya dengan rujuk kita menyadari kesalahan masing2 dan menyampaikan curhatannya masing-masing. Beranjak dari kejadian itu gue mencoba untuk mengerti kesibukannya. Setiap hari ketika sempat gue selalu ngabarin dia meskipun tahu itu bakal sia-sia tapi gue ngerti kalau dia lagi sibuk dan tidak berpikir lain2. Tapi beberapa hari gue seperti itu, mungkin tidak ada artinya dimatanya. Seakan hanya dilihat tanpa dihiraukan. Hanya sebagian kecil. Gue masih sabar menghadapinya. Hingga suatu waktu ketika gue mengaktifkan sosial media gue, gue baru tahu dia juga udah melakukan hal  yang sama dan sepertinya udah lama. Gue lihat disela2 kesibukannya dia  sempat membuat  status ataupun mengganti potonya dan selain itu dia sempat juga berpoto dan menguploadnya. Ketika gue lihat poto2nya, yang bikin gue tercengang adalah poto bersama temannya cewek cowok yang hanya sebagian kecil dari kelasnya. Ga masalah kalo itu acara kelas atau apa dan cewe semua, yang menjadi masalah adalah pertama dia ga bilang mau maen ke pantai bersama temen kelasnya kedua ternyata ada cowoknya. Beginilah rasanya mempunyai perasaan yang dalam, sehingga hal sekecil itupun membuat kecemburuan yang begitu besar. Oke gue masih sabar, mencoba melupakan dan seolah-olah tidak pernah terjadi.
Dari situ gue mulai  jarang ngabarin, bukannya sadar malah menjadi-jadi. Dia lebih mengutamakan untuk ngabarin di sosial media ketimbang mengirim pesan kosong ke gue. Dari situ gue jadi jarang juga ngabarin dia. Dari situ dia muncul, mempertanyakan kelanjutan hubungan ini bukan mempertanyakan kenapa ini terjadi. Gue jawab terserah, dari situ gue udah ga tahan meskipun pengen gue sembunyiin. Lantas gue bilang kalau gue ga suka, dengan santainya dia bilang untuk memutuskan ikatan pertemanan di sosial media antara gue dan dia supaya gue ga liat apa yang dia lakukan.  Daripada itu, gue memilih untuk menghapus semua aplikasi sosial media di hape gue. Dan hanya tersisa facebook. Karena gue sebagai ketua kelas menyampaikan segala sesuatu di facebook. Dia juga berasalan sama, karena anak2 kelasnya sekarang lebih cenderung untuk berkomunikasi di  sosial media. Alasan itu  gue terima karena gue juga sama, gue ga ngelarang dia aktif. Tapi yang jadi masalah buat  gue dan bikin gue gasuka, karena lebih mentingin bikin status, poto2 trus diupload dll. Gue juga tahu itu kebiasaan dia sebelum pacaran ama gue juga. Gue ga masalah, tapi kenapa diantara waktu itu ga sempat buat ngabarin gue, ga tau apa gue nunggu kabar darinya ? apakah ini balasannya atas semua yang telah gue perbuat ?
 Seakan dia tahu kelemahan gue, gue ga terlalu fanatik sama sosial media gue juga jarang aktif. Karena ga penting buat gue, hanya ada kesempatan gratis wifi baru gue bikin status ganti poto dll. Asal tahu juga, gue disini (Bandung) jarang maen toh kalo maen pun keluar boncengannya cowok lagi cowok lagi dan itu kalo diajak biasanya gue sendirian ketika mereka pergi keluar. Mungkin karena kendala tidak ada kendaraan lainnya.Juga pada dasarnya gue jarang maen.
Semenjak itu gue putuskan untuk tidak menghubunginya membiarkan dia untuk sepuasnya menjalani kehidupannya dan gue ga mau ngganggu saat2 dia  berinteraksi dengan temannya atau melakukan kebiasaannya. Dan pada saat yang bersamaan dia juga ga ngasih kabar ke gue mungkin karena udah terbiasa dengan dunianya sehingga sudah terbiasa ada atau tidaknya kabar dari gue. Setelah beberapa hari dan akhirya masa kuliah gue selesei gue pulang kampung dan dengan tanpa mengurangi rasa hormat mengganggunya gue putuskan untuk tidak mengabarinya. Sampai pada saat dirumah, dia kembali ngabarin entah untuk mengakhiri karena kita kembali berkomunikasi untuk kelanjutan hubungan ini. Dari situ kita ungkapin kekesalan kita. Dan seperti sudah siap, dia meminta gue untuk mengakhiri hubungan ini setelah sekian lamanya. Dan tanpa pikir panjang, karena gue takut kalau gue ga ngambil keputusan malah menggangu gerak-geriknya. Jadi pada saat itu juga  gue bilang untuk mundur dari hubungan ini karena gue rasa dirinya bukan untuk diriku. Semua kebaikannya, kecantikannya, kelembutannya, kepeduliannya, kasih sayangnya terlalu besar buat gue dan gue ga bisa membalasnya kecuali dengan rasa sakit. Maka dari itu dengan berakhirnya hubungan ini gue berharap dia bisa menemukan yang setara atau lebih tinggi  darinya yang bisa menerima semua kelebihannya dan memahami semua kekurangannya. Karena gue yang tidak pantas untuk disampingnya.
Ibarat sebuah kerajaan di dalam sebuah dongeng. Ada seorang putri dari kerajaan yang jatuh cinta pada seorang rakyat biasa. Begitupun rakyat biasa dengan begitu senang menyambut putri didalam hatinya. Karena itu merupakan sebuah pencapaian tertinggi sang rakyat itu. Entah takdir atau apa, mereka saling mencintai, saling menutupi kekurangan dan memahaminya. Tapi pada dasarnya terdapat perbedaan yang mencolok antara keduanya. Sang putri yang dibesarkan dengan baik dan tentu saja lingkungan yang tinggi derajatnya. Sedangkan si rakyat sama2 dibesarkan dengan baik namun mempunyai lingkungan yang seadanya. Bahkan lebih sering untuk menyendiri ketimbang bermain atau bersenang-senang dan itupun dilakukan dengan teman-teman sebayanya tanpa campur tangan pihak wanita.
Yang sejatinya perbedaan itu tidak bisa dihilangkan, akan muncul waktunya dimana sikap itu keluar dengan sendirinya. Meskipun sang putri menerima apa adanya si rakyat itu dan bersikap kerakyatan untuk mengimbangi si rakyat tapi dia tidak bisa menghilangkan sikap aslinya yang high level. Sedangkan sikap aslinya itu si rakyat tidak mudah untuk selalu mengimbanginya. Apa yang dipunyai sang putri tidak selalu dipunyai si rakyat. Tapi apa yang dipunyai si rakyat sudah pasti dipunyai sang putri. Sehingga saat sikap sang putri muncul si rakyat tidak selalu bisa menerimanya karena alasan tertentu. Sehingga seiring berjalannya waktu daripada si rakyat merasakan perasaan yang selalu tidak menentu karena kelas yang berbeda dia memilih untuk mundur dan mengakhirinya sehingga memberikan kesempatan sang putri menemukan yang sesuai mungkin sang pangeran dari kerajaan sebelah. Dengan begitu apapun yang mereka lakukan mereka tidak perlu menghkawatirkan perasaan satu sama lain merasakan menjadi satu sama lain. Sehingga dengan demikian mereka bisa hidup bahagia. Sedangkan si rakyat harus menyadari dirinya sendiri dan menemukan kembali semangat hidupnya dan sebisa mungkin untuk tidak melihat keatas juga menemukan sosok penggantinya yang sebaya dan sederajat dengan dirinya. Dengan begitu si rakyat juga bisa menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya dari pendampingnya itu. Meskipun sama2 berakhir dengan kebahagiaan, tetapi kebahagiaan mereka berbeda. Karena mereka sejak awal pun sudah berbeda. Dan perbeedaan itu tidak bisa menyatukan mereka. Sebab persamaan akan merasakan hal yang sama sehingga kemungkinan akan kehancuran bisa dijegah dengan merasakan menjadi oranglain...


Diseleseikan :
Selasa, 30 Desember 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A Name of a Story 2

Neisyara Hanandya Setyana, itulah nama yang akhirnya gw dan istri gw berikan. Lahir di RS Hermina Bekasi Februari 2025. Anak pertama dari in...